Anus, Gus Eka, dan Gus Dwi..
Tiga kleng ini tidak bisa aku hilangkan dari kepala ini. Entah berapa tahun lamanya kami selalu bermain bersama, tertawa bersama, konyol bersama, bahkan bertengkar pun bersama. Bisa kubilang mereka adalah sahabat yang sulit rasanya bisa aku lupakan, mereka adalah salah satu bagian hidupku..
Siapa saja mereka.??..
Siapa saja mereka.??..
Anus, bernama lengkap Oktavianus Enda Sambu,
Sebuah nama panggilan yang terasa absurd terdengar, karena diambil sepotong suku kata bagian akhir dari kata Oktavianus..
Putra sulung dari tiga bersaudara, dan anal laki satu-satunya.
Kalo dibahasakan ke bahasa yang lebih umum, aku dan dia adalah sepupu-an, saudara sepupu dari Ibu, Ibuku adalah adik dari Ibunya. Seorang penganut kristen yang diambil dari Papinya yang berdarah Flores. Tepatnya, didarahnya terdapat darah Bali dan Flores. Karena dia saudara dekat, dari balitapun aku sudah bermain dengannya, entah bertengkar, rebutan mainan, atau sekedar makan bersama. Dia dua tahun lebih tua dariku, sosok seorang kakak sangat aku rasakan dari dirinya, dia selalu mengalah apabila kami selalu bertengkar. Bahkan sampai kami beranjak remaja.
Tidak bisa dipungkiri, banyak hal yang aku sukai, adalah tidak sedikit dari dia, dia bersekolah di daerah pusat kota, banyak hal baru yang dia kenalkan kepadaku. Mainan merupakan suatu hal yang selalu dia perkenalkan, dan aku hanya bisa meminjam darinya. Papinya adalah seorang anggota militer, didikan keras dan disiplin sudah dia dapatkan semenjak kecil, masi ingat di benakku, selalu ada perasaan takut untuk memanggil dia untuk sekedar kuajak main.
Anus adalah seorang yang aku tangkap sebagai anak yang idealis, suka ngobrol, berpikiran terbuka, pemaaf, mudah bergaul dan seorang kakak yang bisa dihandalkan, dia senantiasa memberiku solusi apabila ada suatu kebuntuan, bahkan sifat ini sudah ada dalam dirinya semenjak masi kecil. Entah karena aku terpengaruh atau tidak karenanya, selera kami hampir sama, dari musik, pandangan hidup, hobbi, dsb. Dia selalu menceritakan apa yang menarik perhatiannya, dan aku biasanya selalu ikut terpengaruh tertarik dengan apa yang membuat dia tertarik. SLANK selalu kami dengarkan berdua di kamarku, kaset-kaset SLANK entah datang darimana, selalu kami putar dan dengarkan bersama dikamar.
Kami berdua suka utak atik motor saat SMA, motornya Supra, motorku Star tua. Aku suka pinjem motornya hanya untuk sekedar ganti make, kalo keluar nongkrong berdua, kami biasanya bergantian pake motor yang ada bensinnya.. Hehe..
Ada dua momen yang masi aku ingat saat kecil,
Sepulang sekolah (waktu itu masi SD), dia mengajakku untuk bermain harta karun, dengan niat yang bener-bener niat, dia membuat sebuah peta harta karun, dan dia menaruh beberapa peta dan petunjuk di beberapa titik di lingkungan areal gang mangga manis, sampe areal sawah dekat kuburan kriste.. Hahaha.. ternyata hartu karun itu adalah buku dan pensil, seingatku..
Momen lainnya yang masi kuingat adalah saat dia berusaha membantuku memberikan jalan keluar akan keinginanku waktu kecil yang tidak bisa aku dapatkan,..
Yak, keinginan itu adalah pengen nonton "Menek Pedawa" atau istilah lainnya panjar pinang di pasar malam (di siang hari) saat 17 Agustusan. Jarak rumah ke tempat acara itu lumayan jauh, tapi aku tidak ditemani Bapak bahkan tidak diijinkan untuk menonton itu. Tentu aku kecewa dunk. Pas saat itu, Anus maen kerumah, aku menceritakan keinginanku itu, tanpa pikir panjang dia pun mengajakku pergi kesana, nekat, tanpa sepeser uang, dan jalan kaki siang-siang bolong, seingatku tempat yang kami tuju berada di Lapangan SKIP, di jalan A. Yani, entah berapa kilometer dari rumah, yang pasti jauh. Berkat pengetahuannya mencari jalan pintas, karena bersekolah di tengah kota, dia pun berhasil memenuhi keinginanku waktu itu, Inilah yang membuat kenapa aku bisa menilainya sebagai kakak yang bisa diandalkan.
Entahlah dia masi ingat dengan momen itu apa tidak..
Anus adalah seorang yang aku tangkap sebagai anak yang idealis, suka ngobrol, berpikiran terbuka, pemaaf, mudah bergaul dan seorang kakak yang bisa dihandalkan, dia senantiasa memberiku solusi apabila ada suatu kebuntuan, bahkan sifat ini sudah ada dalam dirinya semenjak masi kecil. Entah karena aku terpengaruh atau tidak karenanya, selera kami hampir sama, dari musik, pandangan hidup, hobbi, dsb. Dia selalu menceritakan apa yang menarik perhatiannya, dan aku biasanya selalu ikut terpengaruh tertarik dengan apa yang membuat dia tertarik. SLANK selalu kami dengarkan berdua di kamarku, kaset-kaset SLANK entah datang darimana, selalu kami putar dan dengarkan bersama dikamar.
Kami berdua suka utak atik motor saat SMA, motornya Supra, motorku Star tua. Aku suka pinjem motornya hanya untuk sekedar ganti make, kalo keluar nongkrong berdua, kami biasanya bergantian pake motor yang ada bensinnya.. Hehe..
Ada dua momen yang masi aku ingat saat kecil,
Sepulang sekolah (waktu itu masi SD), dia mengajakku untuk bermain harta karun, dengan niat yang bener-bener niat, dia membuat sebuah peta harta karun, dan dia menaruh beberapa peta dan petunjuk di beberapa titik di lingkungan areal gang mangga manis, sampe areal sawah dekat kuburan kriste.. Hahaha.. ternyata hartu karun itu adalah buku dan pensil, seingatku..
Momen lainnya yang masi kuingat adalah saat dia berusaha membantuku memberikan jalan keluar akan keinginanku waktu kecil yang tidak bisa aku dapatkan,..
Yak, keinginan itu adalah pengen nonton "Menek Pedawa" atau istilah lainnya panjar pinang di pasar malam (di siang hari) saat 17 Agustusan. Jarak rumah ke tempat acara itu lumayan jauh, tapi aku tidak ditemani Bapak bahkan tidak diijinkan untuk menonton itu. Tentu aku kecewa dunk. Pas saat itu, Anus maen kerumah, aku menceritakan keinginanku itu, tanpa pikir panjang dia pun mengajakku pergi kesana, nekat, tanpa sepeser uang, dan jalan kaki siang-siang bolong, seingatku tempat yang kami tuju berada di Lapangan SKIP, di jalan A. Yani, entah berapa kilometer dari rumah, yang pasti jauh. Berkat pengetahuannya mencari jalan pintas, karena bersekolah di tengah kota, dia pun berhasil memenuhi keinginanku waktu itu, Inilah yang membuat kenapa aku bisa menilainya sebagai kakak yang bisa diandalkan.
Entahlah dia masi ingat dengan momen itu apa tidak..
Gus Eka, bernama lengkap Ida Bagus Putu Eka Permana
Kami bertiga selalu memanggilnya dengan nama Sengat, posisi mata yang selalu miring kalo sedang menonton TV, kebiasaan yang aneh.
Putra Sulung dari tiga bersaudara, dan kebetulan laki semua. Gus Dwi adalah adiknya.
Dia berasal dari keluarga berkasta Brahmana, yang terlihat dari namanya dengan titel Ida Bagus. Menjadi sebuah kebiasaan bertutur kata halus di rumahnya jika bertemu dan berbicara di depan Bapak Ibunya, tapi beda cerita kalo diluar, segala bahasa kasar sudah menjadi hal biasa bagi kami.
Setahun lebih muda dari Anus, dan setahun lebih tua dariku. Dia adalah sosok anak yang bisa kubilang lebih dari seorang pembual, kalo bicara selalu kelas tinggi, gengsi tinggi, playboy dan yang paling nekat kalo ada ide-ide jail. Gaya bicaranya yang sok itulah yang menjadi ciri khasnya yang selalu menjadi bahan tawaan kami bertiga. Kami bertiga yang mendengar bualan ceritanya hanya merespon dengan "Tong... Bungut caine...!!" Tapi satu hal yang aku salut darinya, dia adalah anak yang pemberani, masalah adu jotos, dia bisa dihandalkan, gak kenal takut lihat lawan yang bermasalah dengannya.
Bicara masalah playboy, ni kampret emang uda bawaan lahir gampang gaet cewe, entahlah uda berapa cewe yang pernah jadi pacarnya. Kami bertiga hanya nganterin dia kalo dia mau maen kerumah cewenya. Biasanya Gus Dwi dan Anus selalu cuek kalo Gus Eka bicara masalah cewe, mereka saat itu memang kurang interes dengan masalah pacaran.
Gus Eka dan Gus Dwi memiliki Bapak yang keras, sama halnya dengan Papinya Anus, Pak Bagus, begitu biasa kusebut, adalah seorang pegawai sipir di LP Singaraja, keras terhadap tahanan LP, tidak jarang di depan mataku sendiri aku melihat bagaimana Gus Eka dihajar, ya emang dasar si kampret ini bengal dan bandel. Hahaha..
Ada kejadian kocak dulu, karena seringnya dia dimarahi bapaknya, dia pernah kabur pagi-pagi buta membawa motor bapaknya pulang ke kampungnya di Banjar, ini kejadian kocak banget, bisa-bisanya kabur bawa motor tua, dan mogok depan gang.. Hihihi
Satu momen yang masi aku ingat saat masi kecil dulu bersamanya. Dia suka maen layangan, tentu jago naekin layangan dan beradu layangan. Aku ga begitu tertarik dengan layangan, tapi suka saat layangan sudah naek. Dalam suatu hari, aku punya sepeda, tapi dia tidak punya, kami pun barter, Gus Eka bole minjem sepedaku kalo dia mau bantuin naekin layangan yang susah payah tidak bisa aku naikkan, dan deal, layangan naek, aku maen layangan, dan dia pun dengan senangnya naek sepeda muter-muter di lapangan SD 2 Liligundi di dekat rumahku, Haha.. seru... kayanya kalo aku ceritakan ini ke dia, dia pasti tertawa.
Gus Dwi, bernama lengkap Ida Bagus Kade Dwi Payana
Seperti yang sudah kujelaskan diatas, dia adalah adik Gus Eka, jangan membayangkan keakraban sebuah persaudaraan kakak beradik yang akur dan saling membantu diantara mereka, karena mereka berdua saat kecil sering berantem, aku dan Anus hanya tertawa melihat kekonyolan mereka berdua.
Gus Dwi setahun lebih muda dariku, dia lah sahabat kami yang palin bungsu, punya julukan I Krenyet, jangan pernah adu mulut dengannya, pasti kalah mulutnya kaya mulut cewe, Lemes gati bungutne.. Haha.. Saat masi SD, Gus Dwi adalah anak yang sangat taat, terutama dengan ibunya, apa yang ibunya kerjakan, dia pasti bantu, bahkan memasak pun dia bisa. Cerita berubah saat masuk ke jenjang SMP, pergaulannya dengan Ronggo, teman SMPnya membuat dia menjadi liar, hahaha..
Menurutku, Gus Dwi ini sebenarnya adalah anak yang taat, dan penurut pada orang tua, beda dengan di bengat Gus Eka Sengat, dia mudah terpengaruh dengan gaya teman-teman yang diajak bergaul dengannya. Pernah suatu saat dulu, karena dia senang bergaul dengan pemuda gang seberang, dia sampe jarang pulang, dan hanya nongkrong di warung tempat mereka sering ngumpul, aku dan Anus sering menjadi teman curhat ibunya, "Gus Dwi sudah salah pergaulan" begitu kurang lebih kata Bu Dayu, nama yang biasa kami sebut ke Ibu Gus Dwi. Sampai suatu saat, kedua orang tuanya sudah tidak kuat dengan keliarannya, dan mengirimnya ke Lombok.
Satu momen yang kocak bersama Gus Dwi yang masi ingat adalah, suatu hari kami berdua ke sekolah bersama, kebetulan waktu itu kami satu sekolah, aku kakak kelasnya, dan kebetulan juga aku dan dia sama-sama sekolah siang, karena kakak kelas 3 sedang ujian, Anus, saat itu kakak kelas kami sedang ujian. Kami berdua ke sekolah naek sepeda punyaku, dia berdiri posisi di belakang menginjak besi dekat gear sepeda. Saat itu kami kesekolah siang bolong, melewati jalan Ngurah Rai yang jalannya menurun, posisi jalan yang menurun dari Tugu Singa sampai Rumah sakit umum adalah jalan yang enak tanpa gayung sepeda, tapi apa jadinya kalo rem sepeda blong..? Itulah yang terjadi pada kami berdua, persis di depan sebuah apotek dekat SD Mutiara, kecepatan sepeda sangat kencang, aku pun menarik tuas rem dengan kuat tapi gak ngaruh, sepeda masi melaju kencang, aku pun memerintahkan Gus Dwi untuk loncat menahan sepeda, dan naasnya saat loncat dia jatuh terjerembab, Hahaha..Mukanya masi terlihat kesakitan. Kocak juga kejadian itu.
Kurang lebih seperti itu yang bisa kutulis untuk menggambarkan mereka secara singkat, kalo aku jelaskan disini secara lengkap mungkin akan panjang jadinya.
Banyak cerita diatara kami, aku ingin menceritakan beberapa momen yang pernah kami lalui bersama.
Saat SD,
Anus sekolah disebuah sekolah swasta, sekolah dari Yayasan gerejanya, berjarak cukup jauh dari rumah untuk ukuran sebuah kota kecil di Singaraja.
Gus Eka dan Gus Dwi bersekolah SD yang sama, di Paket Agung, karena sebelum dia pindah ke Gang Mangga Manis, mereka tinggal di daerak Paket Agung, tidak begitu jauh dari Liligundi, kelurahan kami. Aku sendiri yang jago kandang, SD bersekolah hanya berjarak 10 meter dari rumah, SD 2 Liligundi (nanti aku akan tulis tentang sekolahku ini)
Tidak berbeda dengan anak-anak lain di Gang itu, kami bermain membaur dengan anak-anak yang lainnya, banyak permainan kami "tekuni", setiap musim permainan yang sedang trend saat itu selalu kami ikuti, dari masan (musim.red) kartu gambar, masan kulit roko, masan layangan, masan guli, masan dengket-dengketan, sampe masan mercon/petasan, tidak pernah kami lewati. Tidak pernah seingatku kami belajar bersama mebuat PR, seperti halnya seorang kakak kelas yang ngajarin adik kelasnya belajar, NGGAK ADA..!! hanya ada main dan main.. Haha.. Belajar dan buat PR ada porsi tersendiri bagi kami yang ga perlu kami sangkut pautkan dengan teman bermain,.. Haha..
Anus biasanya selalu memamerkan mainan barunya yang dia baru beli dari sekolahan, kami bertiga hanya bisa minjam punya dia.
Hal yang kocak diantara kami berempat adalah saat beradu debat dalam permainan kulit roko, iya kulit rokok yang dijadikan sebagai uang, tiap merek rokok memiliki nilai yang berbeda, semakin langka kulit/kotak rokok didapatkan, maka semakin tinggi nilainya, tentu dengan nilai yang sudah disepakati bersama, hahaha,.. gawat banget ya..
Bibit-bibit perjudian sudah ada di otak kami semenjak masi SD, kami mengadu kulit rokok yang kami anggap sebagai harta kami dengan kartu dom/gaple, biasanya maen sembilanan atau kyu-kyu. Ada yang jadi bandar, ada yang masang taruhan. Tempat untuk mengadu biasanya bergilir, biasanya sore hari, kadang dirumahku, kadang di rumah Gus Eka, jangan harap di rumahnya Anus, ANGKER ada papinya...!! kadang kami mengadu di sekolahan (SD 2 Liligundi), malah parahnya pernah di kuburan kristen yang berjarak tidak begitu jauh dari areal persawahan, haha. Kami sering mengadu hanya berempat, jadi harta kami hanya berputar-putar di kami berempat saja, kalo sekarang aku yang kaya, besok lusa bisa Anus, bisa Gus Dwi atau Gus Eka..
Ada dampak yang buruk dari permainan ini, bukan karena bibit berjudinya, tapi karena kulit rokok itu sendiri, disaat kami kehabisan "harta", Gus Dwi lah yang paling ekstrem, dia benar-benar membeli rokok untuk mendapatkan kulitnya, ya tentu saja, rokok itu di hisap satu persatu olehnya. Rokok menjadi sebuah momok yang merugikan kami berempat, setidaknya aku sendiri yang merasakan itu, ga tau mereka bagaimana.
Dibalik kebengalan kami berempat, aku akui kami bisa commit terhadap tanggung jawab saat itu, iya, tanggung jawab bersih-bersih rumah. Kami hanya baru bermain dan berkumpul setelah kami sudah pada selesai melakukan tugas masing, misalnya aku punya tugas ngepel rumah, seperti halnya juga Anus dan Gus Dwi, dan Gus Eka punya tugas menyiram dan menyapu halaman, yang duluan selesai akan menuju rumah salah satu dari kami (kecuali rumahnya Anus), kami akan menunggu sampai mereka menyelesaikan tugas-nya, setelah semua beres, kami pun main. Aku yakin, mereka pasti ingat akan ini, karena ritual ini hampir tiap hari kami jalankan. Kami tergolong anak-anak yang rajin, (sebelum kami nakal setelahnya) hahaha..
Malam minggu bagi anak SD belum saatnya maen kerumah cewe.
Aku, Gus Dwi dan Gus Eka, mengisi malam minggu dan minggu pagi dengan janjian,
"Malam ini kita numpang dirumah siapa buat nonton TV,,..??",
"Besok pagi kita nonton Power Rangers dimana..??"
Ya begitulah adanya,
Saat itu film anak-anak banyak ada di TV Swasta, seperti RCTI, SCTV dan Indosiar. Aku dan keluarga Gus Eka hanya punya sebuah TV 14 inch hitam putih yang hanya bisa menyiarkan TVRI saja, sedangkan Anus sudah lebih mapan, sudah punya TV warna lengkap dengan "antena SCTV"-nya.
Singaraja merupakan daerah yang membutuh sebuah antena khusus ataupun parabola untuk dapat menangkap siaran TV swasta, tidak seperti halnya di denpasar, jadi kami hanya bisa menumpang nonton di rumah tetangga yang punya TV warna dengan "antena SCTV"-nya. Itulah acara kami bertiga di akhir pekan. Momen-momen dimana kami permisi dirumah tetangga, tapi tidak dibukakan pintu pernah kami alami, mengintip lewat jendela untuk sekedar melihat TV, tapi sengaja ditutup dengan korden tanpa dipersilahkan masuk, pun pernah kami rasakan. Rada naas emang.. Hihihi..
Kenapa gak kerumah Anus aja nontonnya?
Kami bertiga baru akan kerumanya Anus untuk menonton apabila sudah tidak ada pilihan tempat untuk menonton, mempersiapkan mental untuk bertemu dengan Papinya yang dimata kami bertiga, Papinya Anus berwajah beringas...
Saat SMP.
Beranjak SMP, kami memasuki etape masa remaja,
Anus dan Gus Eka adalah seangkatan, lebih dulu menempuh SMP, setahun kemudian aku sendiri, dan tahun depannya adalah Gus Dwi.
Aku, Anus, dan Gus Dwi bersekolah di SMP yang sama, salah satu SMP favorit di Singaraja, SMP 1 Singaraja, sedangkan Gus Eka, bersekolah di SMP 2 Singaraja, kasta kedua SMP di Singaraja setelah SMP 1.
Tentu kami sudah punya lingkungan baru yang berbeda, dunia baru, kenalan yang baru. Kami hanya bertemu tetap di sore hari saat kami tidak ada ekstrakulikuler, atau saat libur sekolah. Cerita tentang sekolahnya selalu menjadi bahan cerita diantara kami.
Anus yang bercerita tentang kegiatannya di OSIS, tentang hobinya bermain bulutangkis, basket dan olahraga, dan teman-teman sekolahnya yang berasal dari banyak spesies.
Gus Eka hapir tidak pernah menceritakan tentang teman-temannya, tapi ceritanya tidak jauh dari cewe, cewe, dan cewe.. pacar baru, selingkuh, putus, pacar baru lagi, dan seterus seterusnya, hanya itu...
Gus Dwi bergaul dengan teman-teman barunya, mengenal rokok.
Bicara mengenai rokok, dari awal SMP ini lah virus rokok merasuki kami, berawal dari Gus Eka dan Gus Dwi, dari hanya nyoba-nyoba ingin tau, dan akhirnya kami berempat menjadi budak rokok sampai detik ini. Hal yang sebenarnya sangat aku sesali, ga tau Gus Dwi dan Gus Eka, mereka cuek aja. Kalo Anus, mungkin ga jauh beda dengan apa yang aku pikir tadi. (nanti aku akan khusu tulis tentang pengalaman rokok).
Ada hal yang rada menggelikan diantara kami berempat, Ibuku saat itu menjual pakaian anak-anak, Alien Workshop adalah merk yang lagi trend saat itu, daaannnn kami berempat memiliki celana yang sama..?? Jijik ga sih kalo dinget..?? Hahaha.
Dan lucunya lagi, kami entah janjian entah nggak, saat jalan-jalan seragam mekai celana yang sama.. Hahaha..
Malam minggu..
Ritual beda dunk dari ritual kami dulu waktu SD, SMP itu masa remaja, masa mulai pacaran, tapi anehnya, diantara kami berempat, hanya Gus Eka yang sudah bisa maen kerumah cewenya, aku sendiri masi cuman telpon-telponan aja, dan tentu Anus dan Gus Dwi cuek aja dengan urusan dunia percewe-an.
Mengisi malam minggu kami punya ritual yang bisa dibilang rada kurang kerjaan, jalan kaki malam hari ke tengah kota, bahkan sampai ke Pelabuhan Buleleng, pulang-pulang pegel. Karena alasan jalan-jalan itulah, suatu malam minggu, karena kebetulan melewati rumah cewenya Gus Eka, kami bertiga pun bersedia mengantarnya "apel" padahal kami uda jijik nungguin, apalagi Gus Dwi yang ga sabaran, aku yakin , mereka bertiga masi ingat dengan momen ini Haha..
Kadang jalan-jalan malam ini bisa membuat Gus Dwi dan Gus Eka jadi keluar iseng dan gilanya. Pernah suatu malam, kami jalan melewati Perpusatakaan Daerah, dan tidak seperti biasa, malam hari di dalam perpustakaan masi ada beberapa orang, sepenilain kami masi seumuran kami, masi sedang membaca di dalam perpustakaan, dengan gilanya Gus Eka, tanpa pikir panjang loncat tembok, mematikan listrik yang ada di panel listrik dekat tembok yang dia loncati, dan setelah itupun kami berempat lari kabur menjauh menuju arah Tugu Singa.
Jail yang nekad emang sudah ada di jidatnya si Sengat ini, beda waktu, ide jail malam-malam pernah kami lakukan di SD 2 Liligundi, dibantu teman yang lain (Alm. Plece dan Bola), Gus Eka berniat mematikan listrik malam-malam di SD 2 LIligundi, sasaran targetnya adalah Pak Dewa, Guru SD kelas 6-ku. Entah kenapa pada dendam ma nih Guru, malam-malam pun kami mengendap-ngendap menuju panel listrik, Jebreettt,... listrik padam seketika, dan lari kabur.
Sepertiinya Perpustakaan ini sudah menjadi areal jajahan kami. Berkedok sebagai anak-anak yang rajin membaca, tidak jarang kami mengunjungi perpustakaan daerah ini, kami berempat sudah menjadi anggota jika ingin meminjam buku, cerita dikejar anjjing pun pernah kami lalui berempat saat melewati Sekolah Dwi Jendra, jalur perjalanan kami menuju perpusatakaan itu. Kami sering lewati jalan itu, dan tau ada anjing galak disana, sebelum-sebelumnya, kami jalan pelan-pelan agar tidak menarik perhatian, tapi emang dasar Gus Eka, dia sengaja lari agar kami bertiga dikejar juga, jadilah kami lari tunggang langgang dikejar anjing, tembok yang tinggi tidak terasa tinggi bisa kami loncati... Goblokkk..
Balik cerita tentang di perpustakaan, lama kelamaan otak setan sudah lebih dulu ada di kepala Gus Eka, suatu siang saat kamu jalan kaki menuju pulang, tanpa kami sadari, Gus Eka sudah membawa beberapa komik didalam bajunya, padahal dia ga bawa kartu anggota saat itu, dengan gampangnya dia bilang, ya bole lah buat koleksi dirumah.. Zzzz..
Dan hari hari selanjutnya, kami berempat benar-benar mengoleksi beberapa buku dan komik yang kami suka dari perpusatakaan itu, tidak ketinggalan juga, beberapa poster yang ada dalam majalah tidak luput dari target operasi kami, parah.... Hahaha...!! Setelah merasa banyak yang kami koleksi, kami pun ga balik-balik ke perpustakaan tersebut, sampai akhirnya perpustaakaan tersebut hancur terbakar akibat kejadian amuk massa di tahun 1999 di Singaraja.
Beda dengan Gus Dwi, ni anak lebih anarkis dan destruktif, masi di TKP yang sama tapi waktu yang beda (tapi masi sama saat ritual jalan-jalan di malam minggu), di depan gedung Perpustakaan tersebut, ada sebuah telpon umum kartu. Entah setan apa yang ada di kepalanya, bisa-bisanya ganggang telpon bisa dia copot dan dibawa pulang, cuman buat jadi bahan pura-pura nelpon di kamarnya, orang gila..!!
Ingat tentang telpon.. Aku dan Gus Eka punya cerita sendiri, yang tidak bisa dirasakan indahnya oleh Anus dan Gus Dwi, NONGKRONG BERJAM-JAM DI TELPON UMUM NELPONIN CEWE. Hahaha..
Ini adalah ritual hanya untuk kami berdua, Gus Dwi dan Anus ga pernah ikutan untuk masalah ini. Sore aku dan Gus Eka biasa janjian, seperti biasa jalan kak, mencari target telpon umum yang akan kami duduki selama berjam-jam, dengan sebelumnya sudah menukarkan koin seratusan di warunganya Mang Aning. Hihi.. Ada beberapa telpon umum yang ada di dekat rumah, paling dekat ya di Bale Banjar Liligundi, tapi disana berisik, dekat jalan raya, tidak tanggung-tanggung pun kami berdua menyisir sampe ke RSU Kertha Husada (kalo tidak salah namanya) dekat SLB. Lumayan jauh untuk jalan kaki, disana tempatnya sepi, nyaman buat nelpon berjam-jam, maklum jaman itu belum ada HP, dan kami di rumah gak punya telpon, ya telpon umum lah sasaran kami. Uang koin seratusan selalu menjadi kebutuhan kami berdua.. Hahaha..
Alm. Plece, Sangutu, Bola dan beberapa teman yang kulupa namanya, menjadi beberapa aktor yang juga ikut mewarnai hari-hari kami yang kurang kerjaan.
Saat aku menginjak kelas 3 SMP, entah kenapa haluan bermain kami menjadi sering ke rumah Alm. Plece, tiap sore selalu nongkrong di pinggir jalan, sebelah selatan SD 2 Liligundi tidak jauh dari rumahku. Dari sekedar duduk-duduk ngobrol, maen gitar, dan yang paling menjijikan dan absurd adalah menggoda bencong-becong yang bermarkas tidak begitu jauh dari tempat biasa kami nongkrong.
Ada satu kejadian parah, dan aktor kenekatan kali ini adalah Gus Dwi, malam-malam, kami kurang kerjaan, pengen ngerjain dan ngintip bencong di rumahnya yang sedang kedatangan "tamu" cowo, Gus Dwi lah yang paling nekat sampe ke atap untuk ngintip, kami yang lain hanya melihatnya dari kejauhan, dan naas, atap jebol, dan kami hanya melihat kakinya saja dari kejauhan, setelah para bencong keluar, kami lari kabur, dan hanya tinggal si Gus Dwi yang kena damprat para bencong dan tuan rumah markas bencong tersebut.. Hahahaha Goblok....!!
Sepertinya masa SMP ini menjadi masa-masa brutal kami, masi ingat di kepalaku, bagaimana aku dimarahi dengan kata-kata yang pedas oleh bapak (dan masi kuingat sampai sekarang kata-kata pedas itu), karena kerjaanku malam-malam hanya keluyuran, kelas tiga SMP mendapat urutan kelas palng buncit, iya, kelas I, kelas paling akhir yang isinya buangan.
Tapi aku bisa membayar semua kekecewaan bapak dengan berhasil masuk di SMA 1, SMA favorit di Singaraja,.
Saat SMA.
Sudah tidak banyak kekonyolan yang terjadi saat kami SMA, Anus sudah mulai sibuk dengan bandnya dan seperti biasa aku hanya sebagai pendengar, dan dengan setia menontonya saat manggung bersama band-nya.
Gus Eka tidak berubah, masi selalu bergulat dengan kisah cintanya dengan satu cewe ke cewe yang lain, dan iya, aku juga cuma jadi pendengarnya.
Gus Dwi, saat beranjak naik ke SMA, seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya, dia kirim oleh kedua orang tuanya ke Lombok akibat tidak kuatnya mereka mendidik Gus Dwi yang sudah beringar tidak terkontrol saat itu.
Tapi masi ada masa-masa kami bersama, sebelum Gus Dwi dikirim ke Lombok, tepatnya saat dia masi kelas 3 SMP, aku 1 SMA, Anus dan Gus Eka kelas 2 SMA.
Kali ini aku satu sekolah bersama Gus Eka, diluar prediksi survei independen (hayahh..) dia berhasil masuk ke SMA 1, dia jadi kakak kelasku di SMA. Sedangkan Anus, hanya karena kesalahan yang kecil, dia tidak masuk ke SMA 1, dan akhirnya masuk ke SMA 4, salah satu SMA yang terkenal dengan bandnya, yang di giati selama SMA.
Kami memiliki kesibukan masing-masing, aku sendiri sudah sibuk dengan kegiatan ekstrakulikules dan kegiatan OSIS di sekolah. Tidak banyak cerita konyol lagi yang kami lalui bersama.
Tapi sesekali, aku biasanya menginap di rumah Gus Eka, tembok rumah kami berdekatan, kalo maggil hanya tinggal lewat jendela, Gus Dwi biasa dengan teriak "Rik... mai nginep dini..!!" secepat kilat, aku pun langsung loncat kerumahnya, tidak lupa dengan membawa sebuah bantal guling.. hihi.. Ini hanya antara Aku dan kedua Ida Bagus gila itu aja, seingatku, Anus tidak pernah menginap, biar pulang malam, dia tetap pulang.
Selain itu, saat Anus dan band-nya manggung, kami bertiga (apabila punya uang buat beli tiket) biasanya mengisi malam minggu dengan nonton band di gedung kesenian.
Tentanng band, ada sebuah cerita agak naas yang kami alami berempat di malam yang sama. Suatu malam minggu, kami nonton band, saat Anus tampil, saat itu entah kenapa, Gus Dwi terlibat adu jotos, waktu itu aku duduk berpisah dengannya, aku lihat hanya dari jauh, dan saat itulah aku baru melihat sosok kakak yang membela adik, ya Gus Eka ikut nonjok orang yang Gus Dwi lawan,,.. Hahaha.. rame, Nah, beberapa jam setelah kejadian itu, kami pulang, aku, Anus dan Gus Eka masi berkumpul dirumahku, Gus Dwi kumpul di beda tempat bersama temannya yang lain. Karena alasan lapar malam hari, kami bertiga naik motor starku ke pasar untuk beli makan, naas, kami kecelakaan di perempatan Pura Desa, aku yang paling parah, dagu sobek, dijahit ke UGD, dan tangan terkilir, untunglah Anus dan Gus Eka tidak parah, Hihi.. Malah yang naas...!!
Tapi tidak kami namanya kalo kami tidak punya ritual sendiri di saat malam minggu, biasanya, setelah jam kunjung pacar berakhir, sekitar jam 9-an, kami biasanya janjian di rumah Gus Eka, kami berempat, biasanya tiap malam minggu akan melakukan sebuah perjanjian bisnis dan finansial. Kalo dulu waktu SD kami berjudi dengan kulit roko, kali ini kami beda kelas. Iya, kami melakukan sebuah pertarungan bisnis dalam sebuah meja MONOPOLI. Hihihi..
Permainan monopoli menjadi sebuah ritual kami saat itu, kalo diingat-ingat, permainan monopoli ini diracuni oleh koko, tetangga kami, sebenarnya uda lama sekali kami memainkan permainan ini, tapi beda saat setelah SMA ini, kami benar-benar niat untuk memainkan permainan ini berempat sesuai dengan waktu yang telah kami sepakati, iya, biasanya jam 9 malam tadi. Aku biasanya akan merasa kecewa kalo ada salah satu dari kami ada yang enggan main atau lebih memilih nonton TV daripada main monopoli, aku selalu paling antusias kalo permainan ini sudah kami mulai.
Di sebuah ruang persegi dekat dapur di rumah Gus Eka, adalah tempat dimana selalu kami gunakan untuk menggelar bidang persegi monopoli tersebut, karena tempat ini benar-benar pas untuk berempat, dan tempatnya pas dekat dapur, kalo butuh air ato kopi, Gus Dwi, selalu siap menghidangkan. Dalam satu malam kami hanya memainkan satu kali putaran permainan, tapi durasinya cukup lama, bisa dari jam 10 malam sampe jam 3 pagi. Kenyat, Jengat, dan adu mulut Gus Dwi adalah yang menjadi ciri khas permainan kami, jangan pernah berdebat dengannya, pasti kalah, Bungut luaa bosss..!! Hahahaha..
Monopoli adalah ritual kami saat itu, setidaknya terakhir saat Gus Dwi pindah ke Lombok. Masa-masa bermain monopoli adalah masa-masa yang kuyakin tidak akan aku dan mereka lupakan.
Saat berpisah.
Saat aku kelas 3, Anus dan Gus Eka sudah menginjak ke dunia perkuliahan.
Aku masi di Singaraja menghabiskan masa SMA-ku
Anus melanjutkan kuliah di Denpasar, jarang pulang, biasanya sebulan sekali
Gus Eka, melanjutkan kuliah ke Jogja, seberang pulau, cukup jauh, dan biasanya hanya pulang saat liburan semester atau saat liburan lebaran
Gus Dwi, dikandangkan ke Lombok, tidak jelas kapan pulangnya.
Praktis, hanya tinggal aku sendiri di Singaraja, rasa sepi sangat aku rasakan saat malam minggu dan libur, aku hanya menunggu mengharapkan salah satu dari mereka pulang ke Singaraja, setidakny ada yang aku ajak ngopi bareng di rumah, sesekali aku libur datang maen ke tempat Anus.
Dan sampai akhirnya akupun melanjutkan kuliah ke Jakarta dan terus bekerja di Jakarta, saat itu Gus Eka masi di Jogja, Gus Dwi masi di Lombok, dan Anus, beberapa bulan setelah lulus kuliah, dia mencoba peruntungan mencari kerja ke Balikpapan. Sedangkan Gus Eka, setelah lulus kuliah, dia kembali dan bekerja di Singaraja, persis, kami berpisahdi empat pulau berbeda. Sesekali waktu Gus Eka masi di Jogja, aku pernah mengunjunginya kesana, tapi hanya ada kami berdua. Ada saatnya juga Gus Dwi pulang, hanya bertemu dengan Anus saja. Semenjak berpisah itulah kami tidak pernah benar-benar berkumpul bersama berempat lagi hanya untuk sekedar ngopi, minum, ngobrol bersama di tempat keramat persegi di dekat dapur rumah Gus Eka.
Ada perasaan sedih, setidaknya itu yang aku rasakan, aku ga tau apa mereka semelo aku. Ada masa-masa yang aku rindukan bersama mereka.
Beberapa tahun berselang, Gus Dwi kembali ke Bali setamatnya dia SMA di lombok, di Bali ada dua sahabatku yang kembali, tapi tidak dengan aku dan Anus. Justru nasib yang mempertemukan aku dan Anus berkumpul lagi di Jakarta, senang yang aku rasakan saat tau kabar Anus dapat kerja di Jakarta, setelah sekian tahun lamanya tak bertemu dengannya selama dia di Balikpapan, tapi ya kami hanya berdua di Jakarta, tidak bersama Gus Eka dan Gus Dwi, ada yang kurang yang aku rasakan. Anus pernah pulang saat paskah, bertemu dengan Gus Dwi dan Gus Eka, tapi disana aku tidak ada, begitu juga sebaliknya, saat aku pulang, Anus masi di Jakarta. Sudah sekian tahun lamanya kami tida berkumpul berempat, kami hanya sekedar memberi kabar lewat telpon.
Hingga sebuah peristiwa yang mengumpulkan kami berempat, tapi sangat tidak cocok untuk kami rayakan dengan ngobrol-ngobrol tertawa-tawa sambil minum, sangat tidak pas. Saat itu keadaan yang membuat aku dan Anus harus pulang bersamaan, karena Nana adik perempuan Anus meninggal dunia (suatu saat akan kutulis tentang sosok Nana). Saat itulah, malam hari kami berempat akhirnya bisa berkumpul, tapi dengan nuansa berduka. Senang disaat sedih, sedih disaat senang.. Satu sisi aku senang berkumpul dengan ketiga kleng ini, satu sisi, aku menangis kehilangan Nana. :(
Itulah saat kami bersama-sama berempat, selalu ada kurang satu orang saat kami kumpul, entah aku sendiri, Anus, Gus Dwi maupun Gus Eka..
Bahkan saat Gus Eka, Anus, dan aku sendiri menikah, karena keadaan yang membuat kami tidak bisa berkumpul bersama lagi.
Saat ini..
Tidak bisa dipungkiri, untuk saat ini kami tidak bisa seperti dulu lagi, kami pasti akan memiliki keluarga sendiri, dan kesibukan sendiri. Pasti banyak hal yang menjadi prioritas kami sehingga kumpul bersama dengan sahabat akan menjadi momen yang sangat langka. Setidaknya momen bersama kalian sudah menjadi bagian dalam hidup ini.
Saat ini, aku, Anus, dan Gus Eka sudah memiliki keluarga sendiri, aku tunggu waktumu Wik..!!
Semoga sukses,
Semoga kita selalu tetap bersaudara walaupun jauh,
Jauh dalam khayalanku, anak-anak kita nanti berkumpul bermain bersama..
Astungkara... :)
Bicara masalah playboy, ni kampret emang uda bawaan lahir gampang gaet cewe, entahlah uda berapa cewe yang pernah jadi pacarnya. Kami bertiga hanya nganterin dia kalo dia mau maen kerumah cewenya. Biasanya Gus Dwi dan Anus selalu cuek kalo Gus Eka bicara masalah cewe, mereka saat itu memang kurang interes dengan masalah pacaran.
Gus Eka dan Gus Dwi memiliki Bapak yang keras, sama halnya dengan Papinya Anus, Pak Bagus, begitu biasa kusebut, adalah seorang pegawai sipir di LP Singaraja, keras terhadap tahanan LP, tidak jarang di depan mataku sendiri aku melihat bagaimana Gus Eka dihajar, ya emang dasar si kampret ini bengal dan bandel. Hahaha..
Ada kejadian kocak dulu, karena seringnya dia dimarahi bapaknya, dia pernah kabur pagi-pagi buta membawa motor bapaknya pulang ke kampungnya di Banjar, ini kejadian kocak banget, bisa-bisanya kabur bawa motor tua, dan mogok depan gang.. Hihihi
Satu momen yang masi aku ingat saat masi kecil dulu bersamanya. Dia suka maen layangan, tentu jago naekin layangan dan beradu layangan. Aku ga begitu tertarik dengan layangan, tapi suka saat layangan sudah naek. Dalam suatu hari, aku punya sepeda, tapi dia tidak punya, kami pun barter, Gus Eka bole minjem sepedaku kalo dia mau bantuin naekin layangan yang susah payah tidak bisa aku naikkan, dan deal, layangan naek, aku maen layangan, dan dia pun dengan senangnya naek sepeda muter-muter di lapangan SD 2 Liligundi di dekat rumahku, Haha.. seru... kayanya kalo aku ceritakan ini ke dia, dia pasti tertawa.
Gus Dwi, bernama lengkap Ida Bagus Kade Dwi Payana
Seperti yang sudah kujelaskan diatas, dia adalah adik Gus Eka, jangan membayangkan keakraban sebuah persaudaraan kakak beradik yang akur dan saling membantu diantara mereka, karena mereka berdua saat kecil sering berantem, aku dan Anus hanya tertawa melihat kekonyolan mereka berdua.
Gus Dwi setahun lebih muda dariku, dia lah sahabat kami yang palin bungsu, punya julukan I Krenyet, jangan pernah adu mulut dengannya, pasti kalah mulutnya kaya mulut cewe, Lemes gati bungutne.. Haha.. Saat masi SD, Gus Dwi adalah anak yang sangat taat, terutama dengan ibunya, apa yang ibunya kerjakan, dia pasti bantu, bahkan memasak pun dia bisa. Cerita berubah saat masuk ke jenjang SMP, pergaulannya dengan Ronggo, teman SMPnya membuat dia menjadi liar, hahaha..
Menurutku, Gus Dwi ini sebenarnya adalah anak yang taat, dan penurut pada orang tua, beda dengan di bengat Gus Eka Sengat, dia mudah terpengaruh dengan gaya teman-teman yang diajak bergaul dengannya. Pernah suatu saat dulu, karena dia senang bergaul dengan pemuda gang seberang, dia sampe jarang pulang, dan hanya nongkrong di warung tempat mereka sering ngumpul, aku dan Anus sering menjadi teman curhat ibunya, "Gus Dwi sudah salah pergaulan" begitu kurang lebih kata Bu Dayu, nama yang biasa kami sebut ke Ibu Gus Dwi. Sampai suatu saat, kedua orang tuanya sudah tidak kuat dengan keliarannya, dan mengirimnya ke Lombok.
Satu momen yang kocak bersama Gus Dwi yang masi ingat adalah, suatu hari kami berdua ke sekolah bersama, kebetulan waktu itu kami satu sekolah, aku kakak kelasnya, dan kebetulan juga aku dan dia sama-sama sekolah siang, karena kakak kelas 3 sedang ujian, Anus, saat itu kakak kelas kami sedang ujian. Kami berdua ke sekolah naek sepeda punyaku, dia berdiri posisi di belakang menginjak besi dekat gear sepeda. Saat itu kami kesekolah siang bolong, melewati jalan Ngurah Rai yang jalannya menurun, posisi jalan yang menurun dari Tugu Singa sampai Rumah sakit umum adalah jalan yang enak tanpa gayung sepeda, tapi apa jadinya kalo rem sepeda blong..? Itulah yang terjadi pada kami berdua, persis di depan sebuah apotek dekat SD Mutiara, kecepatan sepeda sangat kencang, aku pun menarik tuas rem dengan kuat tapi gak ngaruh, sepeda masi melaju kencang, aku pun memerintahkan Gus Dwi untuk loncat menahan sepeda, dan naasnya saat loncat dia jatuh terjerembab, Hahaha..Mukanya masi terlihat kesakitan. Kocak juga kejadian itu.
Kurang lebih seperti itu yang bisa kutulis untuk menggambarkan mereka secara singkat, kalo aku jelaskan disini secara lengkap mungkin akan panjang jadinya.
Banyak cerita diatara kami, aku ingin menceritakan beberapa momen yang pernah kami lalui bersama.
Saat SD,
Anus sekolah disebuah sekolah swasta, sekolah dari Yayasan gerejanya, berjarak cukup jauh dari rumah untuk ukuran sebuah kota kecil di Singaraja.
Gus Eka dan Gus Dwi bersekolah SD yang sama, di Paket Agung, karena sebelum dia pindah ke Gang Mangga Manis, mereka tinggal di daerak Paket Agung, tidak begitu jauh dari Liligundi, kelurahan kami. Aku sendiri yang jago kandang, SD bersekolah hanya berjarak 10 meter dari rumah, SD 2 Liligundi (nanti aku akan tulis tentang sekolahku ini)
Tidak berbeda dengan anak-anak lain di Gang itu, kami bermain membaur dengan anak-anak yang lainnya, banyak permainan kami "tekuni", setiap musim permainan yang sedang trend saat itu selalu kami ikuti, dari masan (musim.red) kartu gambar, masan kulit roko, masan layangan, masan guli, masan dengket-dengketan, sampe masan mercon/petasan, tidak pernah kami lewati. Tidak pernah seingatku kami belajar bersama mebuat PR, seperti halnya seorang kakak kelas yang ngajarin adik kelasnya belajar, NGGAK ADA..!! hanya ada main dan main.. Haha.. Belajar dan buat PR ada porsi tersendiri bagi kami yang ga perlu kami sangkut pautkan dengan teman bermain,.. Haha..
Anus biasanya selalu memamerkan mainan barunya yang dia baru beli dari sekolahan, kami bertiga hanya bisa minjam punya dia.
Hal yang kocak diantara kami berempat adalah saat beradu debat dalam permainan kulit roko, iya kulit rokok yang dijadikan sebagai uang, tiap merek rokok memiliki nilai yang berbeda, semakin langka kulit/kotak rokok didapatkan, maka semakin tinggi nilainya, tentu dengan nilai yang sudah disepakati bersama, hahaha,.. gawat banget ya..
Bibit-bibit perjudian sudah ada di otak kami semenjak masi SD, kami mengadu kulit rokok yang kami anggap sebagai harta kami dengan kartu dom/gaple, biasanya maen sembilanan atau kyu-kyu. Ada yang jadi bandar, ada yang masang taruhan. Tempat untuk mengadu biasanya bergilir, biasanya sore hari, kadang dirumahku, kadang di rumah Gus Eka, jangan harap di rumahnya Anus, ANGKER ada papinya...!! kadang kami mengadu di sekolahan (SD 2 Liligundi), malah parahnya pernah di kuburan kristen yang berjarak tidak begitu jauh dari areal persawahan, haha. Kami sering mengadu hanya berempat, jadi harta kami hanya berputar-putar di kami berempat saja, kalo sekarang aku yang kaya, besok lusa bisa Anus, bisa Gus Dwi atau Gus Eka..
Ada dampak yang buruk dari permainan ini, bukan karena bibit berjudinya, tapi karena kulit rokok itu sendiri, disaat kami kehabisan "harta", Gus Dwi lah yang paling ekstrem, dia benar-benar membeli rokok untuk mendapatkan kulitnya, ya tentu saja, rokok itu di hisap satu persatu olehnya. Rokok menjadi sebuah momok yang merugikan kami berempat, setidaknya aku sendiri yang merasakan itu, ga tau mereka bagaimana.
Dibalik kebengalan kami berempat, aku akui kami bisa commit terhadap tanggung jawab saat itu, iya, tanggung jawab bersih-bersih rumah. Kami hanya baru bermain dan berkumpul setelah kami sudah pada selesai melakukan tugas masing, misalnya aku punya tugas ngepel rumah, seperti halnya juga Anus dan Gus Dwi, dan Gus Eka punya tugas menyiram dan menyapu halaman, yang duluan selesai akan menuju rumah salah satu dari kami (kecuali rumahnya Anus), kami akan menunggu sampai mereka menyelesaikan tugas-nya, setelah semua beres, kami pun main. Aku yakin, mereka pasti ingat akan ini, karena ritual ini hampir tiap hari kami jalankan. Kami tergolong anak-anak yang rajin, (sebelum kami nakal setelahnya) hahaha..
Malam minggu bagi anak SD belum saatnya maen kerumah cewe.
Aku, Gus Dwi dan Gus Eka, mengisi malam minggu dan minggu pagi dengan janjian,
"Malam ini kita numpang dirumah siapa buat nonton TV,,..??",
"Besok pagi kita nonton Power Rangers dimana..??"
Ya begitulah adanya,
Saat itu film anak-anak banyak ada di TV Swasta, seperti RCTI, SCTV dan Indosiar. Aku dan keluarga Gus Eka hanya punya sebuah TV 14 inch hitam putih yang hanya bisa menyiarkan TVRI saja, sedangkan Anus sudah lebih mapan, sudah punya TV warna lengkap dengan "antena SCTV"-nya.
Singaraja merupakan daerah yang membutuh sebuah antena khusus ataupun parabola untuk dapat menangkap siaran TV swasta, tidak seperti halnya di denpasar, jadi kami hanya bisa menumpang nonton di rumah tetangga yang punya TV warna dengan "antena SCTV"-nya. Itulah acara kami bertiga di akhir pekan. Momen-momen dimana kami permisi dirumah tetangga, tapi tidak dibukakan pintu pernah kami alami, mengintip lewat jendela untuk sekedar melihat TV, tapi sengaja ditutup dengan korden tanpa dipersilahkan masuk, pun pernah kami rasakan. Rada naas emang.. Hihihi..
Kenapa gak kerumah Anus aja nontonnya?
Kami bertiga baru akan kerumanya Anus untuk menonton apabila sudah tidak ada pilihan tempat untuk menonton, mempersiapkan mental untuk bertemu dengan Papinya yang dimata kami bertiga, Papinya Anus berwajah beringas...
Saat SMP.
Beranjak SMP, kami memasuki etape masa remaja,
Anus dan Gus Eka adalah seangkatan, lebih dulu menempuh SMP, setahun kemudian aku sendiri, dan tahun depannya adalah Gus Dwi.
Aku, Anus, dan Gus Dwi bersekolah di SMP yang sama, salah satu SMP favorit di Singaraja, SMP 1 Singaraja, sedangkan Gus Eka, bersekolah di SMP 2 Singaraja, kasta kedua SMP di Singaraja setelah SMP 1.
Tentu kami sudah punya lingkungan baru yang berbeda, dunia baru, kenalan yang baru. Kami hanya bertemu tetap di sore hari saat kami tidak ada ekstrakulikuler, atau saat libur sekolah. Cerita tentang sekolahnya selalu menjadi bahan cerita diantara kami.
Anus yang bercerita tentang kegiatannya di OSIS, tentang hobinya bermain bulutangkis, basket dan olahraga, dan teman-teman sekolahnya yang berasal dari banyak spesies.
Gus Eka hapir tidak pernah menceritakan tentang teman-temannya, tapi ceritanya tidak jauh dari cewe, cewe, dan cewe.. pacar baru, selingkuh, putus, pacar baru lagi, dan seterus seterusnya, hanya itu...
Gus Dwi bergaul dengan teman-teman barunya, mengenal rokok.
Bicara mengenai rokok, dari awal SMP ini lah virus rokok merasuki kami, berawal dari Gus Eka dan Gus Dwi, dari hanya nyoba-nyoba ingin tau, dan akhirnya kami berempat menjadi budak rokok sampai detik ini. Hal yang sebenarnya sangat aku sesali, ga tau Gus Dwi dan Gus Eka, mereka cuek aja. Kalo Anus, mungkin ga jauh beda dengan apa yang aku pikir tadi. (nanti aku akan khusu tulis tentang pengalaman rokok).
Ada hal yang rada menggelikan diantara kami berempat, Ibuku saat itu menjual pakaian anak-anak, Alien Workshop adalah merk yang lagi trend saat itu, daaannnn kami berempat memiliki celana yang sama..?? Jijik ga sih kalo dinget..?? Hahaha.
Dan lucunya lagi, kami entah janjian entah nggak, saat jalan-jalan seragam mekai celana yang sama.. Hahaha..
Malam minggu..
Ritual beda dunk dari ritual kami dulu waktu SD, SMP itu masa remaja, masa mulai pacaran, tapi anehnya, diantara kami berempat, hanya Gus Eka yang sudah bisa maen kerumah cewenya, aku sendiri masi cuman telpon-telponan aja, dan tentu Anus dan Gus Dwi cuek aja dengan urusan dunia percewe-an.
Mengisi malam minggu kami punya ritual yang bisa dibilang rada kurang kerjaan, jalan kaki malam hari ke tengah kota, bahkan sampai ke Pelabuhan Buleleng, pulang-pulang pegel. Karena alasan jalan-jalan itulah, suatu malam minggu, karena kebetulan melewati rumah cewenya Gus Eka, kami bertiga pun bersedia mengantarnya "apel" padahal kami uda jijik nungguin, apalagi Gus Dwi yang ga sabaran, aku yakin , mereka bertiga masi ingat dengan momen ini Haha..
Kadang jalan-jalan malam ini bisa membuat Gus Dwi dan Gus Eka jadi keluar iseng dan gilanya. Pernah suatu malam, kami jalan melewati Perpusatakaan Daerah, dan tidak seperti biasa, malam hari di dalam perpustakaan masi ada beberapa orang, sepenilain kami masi seumuran kami, masi sedang membaca di dalam perpustakaan, dengan gilanya Gus Eka, tanpa pikir panjang loncat tembok, mematikan listrik yang ada di panel listrik dekat tembok yang dia loncati, dan setelah itupun kami berempat lari kabur menjauh menuju arah Tugu Singa.
Jail yang nekad emang sudah ada di jidatnya si Sengat ini, beda waktu, ide jail malam-malam pernah kami lakukan di SD 2 Liligundi, dibantu teman yang lain (Alm. Plece dan Bola), Gus Eka berniat mematikan listrik malam-malam di SD 2 LIligundi, sasaran targetnya adalah Pak Dewa, Guru SD kelas 6-ku. Entah kenapa pada dendam ma nih Guru, malam-malam pun kami mengendap-ngendap menuju panel listrik, Jebreettt,... listrik padam seketika, dan lari kabur.
Sepertiinya Perpustakaan ini sudah menjadi areal jajahan kami. Berkedok sebagai anak-anak yang rajin membaca, tidak jarang kami mengunjungi perpustakaan daerah ini, kami berempat sudah menjadi anggota jika ingin meminjam buku, cerita dikejar anjjing pun pernah kami lalui berempat saat melewati Sekolah Dwi Jendra, jalur perjalanan kami menuju perpusatakaan itu. Kami sering lewati jalan itu, dan tau ada anjing galak disana, sebelum-sebelumnya, kami jalan pelan-pelan agar tidak menarik perhatian, tapi emang dasar Gus Eka, dia sengaja lari agar kami bertiga dikejar juga, jadilah kami lari tunggang langgang dikejar anjing, tembok yang tinggi tidak terasa tinggi bisa kami loncati... Goblokkk..
Balik cerita tentang di perpustakaan, lama kelamaan otak setan sudah lebih dulu ada di kepala Gus Eka, suatu siang saat kamu jalan kaki menuju pulang, tanpa kami sadari, Gus Eka sudah membawa beberapa komik didalam bajunya, padahal dia ga bawa kartu anggota saat itu, dengan gampangnya dia bilang, ya bole lah buat koleksi dirumah.. Zzzz..
Dan hari hari selanjutnya, kami berempat benar-benar mengoleksi beberapa buku dan komik yang kami suka dari perpusatakaan itu, tidak ketinggalan juga, beberapa poster yang ada dalam majalah tidak luput dari target operasi kami, parah.... Hahaha...!! Setelah merasa banyak yang kami koleksi, kami pun ga balik-balik ke perpustakaan tersebut, sampai akhirnya perpustaakaan tersebut hancur terbakar akibat kejadian amuk massa di tahun 1999 di Singaraja.
Beda dengan Gus Dwi, ni anak lebih anarkis dan destruktif, masi di TKP yang sama tapi waktu yang beda (tapi masi sama saat ritual jalan-jalan di malam minggu), di depan gedung Perpustakaan tersebut, ada sebuah telpon umum kartu. Entah setan apa yang ada di kepalanya, bisa-bisanya ganggang telpon bisa dia copot dan dibawa pulang, cuman buat jadi bahan pura-pura nelpon di kamarnya, orang gila..!!
Ingat tentang telpon.. Aku dan Gus Eka punya cerita sendiri, yang tidak bisa dirasakan indahnya oleh Anus dan Gus Dwi, NONGKRONG BERJAM-JAM DI TELPON UMUM NELPONIN CEWE. Hahaha..
Ini adalah ritual hanya untuk kami berdua, Gus Dwi dan Anus ga pernah ikutan untuk masalah ini. Sore aku dan Gus Eka biasa janjian, seperti biasa jalan kak, mencari target telpon umum yang akan kami duduki selama berjam-jam, dengan sebelumnya sudah menukarkan koin seratusan di warunganya Mang Aning. Hihi.. Ada beberapa telpon umum yang ada di dekat rumah, paling dekat ya di Bale Banjar Liligundi, tapi disana berisik, dekat jalan raya, tidak tanggung-tanggung pun kami berdua menyisir sampe ke RSU Kertha Husada (kalo tidak salah namanya) dekat SLB. Lumayan jauh untuk jalan kaki, disana tempatnya sepi, nyaman buat nelpon berjam-jam, maklum jaman itu belum ada HP, dan kami di rumah gak punya telpon, ya telpon umum lah sasaran kami. Uang koin seratusan selalu menjadi kebutuhan kami berdua.. Hahaha..
Alm. Plece, Sangutu, Bola dan beberapa teman yang kulupa namanya, menjadi beberapa aktor yang juga ikut mewarnai hari-hari kami yang kurang kerjaan.
Saat aku menginjak kelas 3 SMP, entah kenapa haluan bermain kami menjadi sering ke rumah Alm. Plece, tiap sore selalu nongkrong di pinggir jalan, sebelah selatan SD 2 Liligundi tidak jauh dari rumahku. Dari sekedar duduk-duduk ngobrol, maen gitar, dan yang paling menjijikan dan absurd adalah menggoda bencong-becong yang bermarkas tidak begitu jauh dari tempat biasa kami nongkrong.
Ada satu kejadian parah, dan aktor kenekatan kali ini adalah Gus Dwi, malam-malam, kami kurang kerjaan, pengen ngerjain dan ngintip bencong di rumahnya yang sedang kedatangan "tamu" cowo, Gus Dwi lah yang paling nekat sampe ke atap untuk ngintip, kami yang lain hanya melihatnya dari kejauhan, dan naas, atap jebol, dan kami hanya melihat kakinya saja dari kejauhan, setelah para bencong keluar, kami lari kabur, dan hanya tinggal si Gus Dwi yang kena damprat para bencong dan tuan rumah markas bencong tersebut.. Hahahaha Goblok....!!
Sepertinya masa SMP ini menjadi masa-masa brutal kami, masi ingat di kepalaku, bagaimana aku dimarahi dengan kata-kata yang pedas oleh bapak (dan masi kuingat sampai sekarang kata-kata pedas itu), karena kerjaanku malam-malam hanya keluyuran, kelas tiga SMP mendapat urutan kelas palng buncit, iya, kelas I, kelas paling akhir yang isinya buangan.
Tapi aku bisa membayar semua kekecewaan bapak dengan berhasil masuk di SMA 1, SMA favorit di Singaraja,.
Saat SMA.
Sudah tidak banyak kekonyolan yang terjadi saat kami SMA, Anus sudah mulai sibuk dengan bandnya dan seperti biasa aku hanya sebagai pendengar, dan dengan setia menontonya saat manggung bersama band-nya.
Gus Eka tidak berubah, masi selalu bergulat dengan kisah cintanya dengan satu cewe ke cewe yang lain, dan iya, aku juga cuma jadi pendengarnya.
Gus Dwi, saat beranjak naik ke SMA, seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya, dia kirim oleh kedua orang tuanya ke Lombok akibat tidak kuatnya mereka mendidik Gus Dwi yang sudah beringar tidak terkontrol saat itu.
Tapi masi ada masa-masa kami bersama, sebelum Gus Dwi dikirim ke Lombok, tepatnya saat dia masi kelas 3 SMP, aku 1 SMA, Anus dan Gus Eka kelas 2 SMA.
Kali ini aku satu sekolah bersama Gus Eka, diluar prediksi survei independen (hayahh..) dia berhasil masuk ke SMA 1, dia jadi kakak kelasku di SMA. Sedangkan Anus, hanya karena kesalahan yang kecil, dia tidak masuk ke SMA 1, dan akhirnya masuk ke SMA 4, salah satu SMA yang terkenal dengan bandnya, yang di giati selama SMA.
Kami memiliki kesibukan masing-masing, aku sendiri sudah sibuk dengan kegiatan ekstrakulikules dan kegiatan OSIS di sekolah. Tidak banyak cerita konyol lagi yang kami lalui bersama.
Tapi sesekali, aku biasanya menginap di rumah Gus Eka, tembok rumah kami berdekatan, kalo maggil hanya tinggal lewat jendela, Gus Dwi biasa dengan teriak "Rik... mai nginep dini..!!" secepat kilat, aku pun langsung loncat kerumahnya, tidak lupa dengan membawa sebuah bantal guling.. hihi.. Ini hanya antara Aku dan kedua Ida Bagus gila itu aja, seingatku, Anus tidak pernah menginap, biar pulang malam, dia tetap pulang.
Selain itu, saat Anus dan band-nya manggung, kami bertiga (apabila punya uang buat beli tiket) biasanya mengisi malam minggu dengan nonton band di gedung kesenian.
Tentanng band, ada sebuah cerita agak naas yang kami alami berempat di malam yang sama. Suatu malam minggu, kami nonton band, saat Anus tampil, saat itu entah kenapa, Gus Dwi terlibat adu jotos, waktu itu aku duduk berpisah dengannya, aku lihat hanya dari jauh, dan saat itulah aku baru melihat sosok kakak yang membela adik, ya Gus Eka ikut nonjok orang yang Gus Dwi lawan,,.. Hahaha.. rame, Nah, beberapa jam setelah kejadian itu, kami pulang, aku, Anus dan Gus Eka masi berkumpul dirumahku, Gus Dwi kumpul di beda tempat bersama temannya yang lain. Karena alasan lapar malam hari, kami bertiga naik motor starku ke pasar untuk beli makan, naas, kami kecelakaan di perempatan Pura Desa, aku yang paling parah, dagu sobek, dijahit ke UGD, dan tangan terkilir, untunglah Anus dan Gus Eka tidak parah, Hihi.. Malah yang naas...!!
Tapi tidak kami namanya kalo kami tidak punya ritual sendiri di saat malam minggu, biasanya, setelah jam kunjung pacar berakhir, sekitar jam 9-an, kami biasanya janjian di rumah Gus Eka, kami berempat, biasanya tiap malam minggu akan melakukan sebuah perjanjian bisnis dan finansial. Kalo dulu waktu SD kami berjudi dengan kulit roko, kali ini kami beda kelas. Iya, kami melakukan sebuah pertarungan bisnis dalam sebuah meja MONOPOLI. Hihihi..
Permainan monopoli menjadi sebuah ritual kami saat itu, kalo diingat-ingat, permainan monopoli ini diracuni oleh koko, tetangga kami, sebenarnya uda lama sekali kami memainkan permainan ini, tapi beda saat setelah SMA ini, kami benar-benar niat untuk memainkan permainan ini berempat sesuai dengan waktu yang telah kami sepakati, iya, biasanya jam 9 malam tadi. Aku biasanya akan merasa kecewa kalo ada salah satu dari kami ada yang enggan main atau lebih memilih nonton TV daripada main monopoli, aku selalu paling antusias kalo permainan ini sudah kami mulai.
Di sebuah ruang persegi dekat dapur di rumah Gus Eka, adalah tempat dimana selalu kami gunakan untuk menggelar bidang persegi monopoli tersebut, karena tempat ini benar-benar pas untuk berempat, dan tempatnya pas dekat dapur, kalo butuh air ato kopi, Gus Dwi, selalu siap menghidangkan. Dalam satu malam kami hanya memainkan satu kali putaran permainan, tapi durasinya cukup lama, bisa dari jam 10 malam sampe jam 3 pagi. Kenyat, Jengat, dan adu mulut Gus Dwi adalah yang menjadi ciri khas permainan kami, jangan pernah berdebat dengannya, pasti kalah, Bungut luaa bosss..!! Hahahaha..
Monopoli adalah ritual kami saat itu, setidaknya terakhir saat Gus Dwi pindah ke Lombok. Masa-masa bermain monopoli adalah masa-masa yang kuyakin tidak akan aku dan mereka lupakan.
Saat berpisah.
Saat aku kelas 3, Anus dan Gus Eka sudah menginjak ke dunia perkuliahan.
Aku masi di Singaraja menghabiskan masa SMA-ku
Anus melanjutkan kuliah di Denpasar, jarang pulang, biasanya sebulan sekali
Gus Eka, melanjutkan kuliah ke Jogja, seberang pulau, cukup jauh, dan biasanya hanya pulang saat liburan semester atau saat liburan lebaran
Gus Dwi, dikandangkan ke Lombok, tidak jelas kapan pulangnya.
Praktis, hanya tinggal aku sendiri di Singaraja, rasa sepi sangat aku rasakan saat malam minggu dan libur, aku hanya menunggu mengharapkan salah satu dari mereka pulang ke Singaraja, setidakny ada yang aku ajak ngopi bareng di rumah, sesekali aku libur datang maen ke tempat Anus.
Dan sampai akhirnya akupun melanjutkan kuliah ke Jakarta dan terus bekerja di Jakarta, saat itu Gus Eka masi di Jogja, Gus Dwi masi di Lombok, dan Anus, beberapa bulan setelah lulus kuliah, dia mencoba peruntungan mencari kerja ke Balikpapan. Sedangkan Gus Eka, setelah lulus kuliah, dia kembali dan bekerja di Singaraja, persis, kami berpisahdi empat pulau berbeda. Sesekali waktu Gus Eka masi di Jogja, aku pernah mengunjunginya kesana, tapi hanya ada kami berdua. Ada saatnya juga Gus Dwi pulang, hanya bertemu dengan Anus saja. Semenjak berpisah itulah kami tidak pernah benar-benar berkumpul bersama berempat lagi hanya untuk sekedar ngopi, minum, ngobrol bersama di tempat keramat persegi di dekat dapur rumah Gus Eka.
Ada perasaan sedih, setidaknya itu yang aku rasakan, aku ga tau apa mereka semelo aku. Ada masa-masa yang aku rindukan bersama mereka.
Beberapa tahun berselang, Gus Dwi kembali ke Bali setamatnya dia SMA di lombok, di Bali ada dua sahabatku yang kembali, tapi tidak dengan aku dan Anus. Justru nasib yang mempertemukan aku dan Anus berkumpul lagi di Jakarta, senang yang aku rasakan saat tau kabar Anus dapat kerja di Jakarta, setelah sekian tahun lamanya tak bertemu dengannya selama dia di Balikpapan, tapi ya kami hanya berdua di Jakarta, tidak bersama Gus Eka dan Gus Dwi, ada yang kurang yang aku rasakan. Anus pernah pulang saat paskah, bertemu dengan Gus Dwi dan Gus Eka, tapi disana aku tidak ada, begitu juga sebaliknya, saat aku pulang, Anus masi di Jakarta. Sudah sekian tahun lamanya kami tida berkumpul berempat, kami hanya sekedar memberi kabar lewat telpon.
Hingga sebuah peristiwa yang mengumpulkan kami berempat, tapi sangat tidak cocok untuk kami rayakan dengan ngobrol-ngobrol tertawa-tawa sambil minum, sangat tidak pas. Saat itu keadaan yang membuat aku dan Anus harus pulang bersamaan, karena Nana adik perempuan Anus meninggal dunia (suatu saat akan kutulis tentang sosok Nana). Saat itulah, malam hari kami berempat akhirnya bisa berkumpul, tapi dengan nuansa berduka. Senang disaat sedih, sedih disaat senang.. Satu sisi aku senang berkumpul dengan ketiga kleng ini, satu sisi, aku menangis kehilangan Nana. :(
Itulah saat kami bersama-sama berempat, selalu ada kurang satu orang saat kami kumpul, entah aku sendiri, Anus, Gus Dwi maupun Gus Eka..
Bahkan saat Gus Eka, Anus, dan aku sendiri menikah, karena keadaan yang membuat kami tidak bisa berkumpul bersama lagi.
Saat ini..
Tidak bisa dipungkiri, untuk saat ini kami tidak bisa seperti dulu lagi, kami pasti akan memiliki keluarga sendiri, dan kesibukan sendiri. Pasti banyak hal yang menjadi prioritas kami sehingga kumpul bersama dengan sahabat akan menjadi momen yang sangat langka. Setidaknya momen bersama kalian sudah menjadi bagian dalam hidup ini.
Saat ini, aku, Anus, dan Gus Eka sudah memiliki keluarga sendiri, aku tunggu waktumu Wik..!!
Semoga sukses,
Semoga kita selalu tetap bersaudara walaupun jauh,
Jauh dalam khayalanku, anak-anak kita nanti berkumpul bermain bersama..
Astungkara... :)
(Dari kiri - kanan : Gus Dwi, Aku, Istri, Anus dan Mang Omplo)
Mang Omplo adalah adik bungsu Gus Eka dan Gus Dwi, di hari pernikahanku, hanya Gus Eka yang tidak hadir, padahal Anus sudah menyusun rencana agar kita bisa berkumpul. Entah hari itu dia hilang entah kemana..
0 comments:
Post a Comment