Saya lanjutkan lagi cerita dari Selamat datang Gek Mirah (Part 1)
Menjelang hari hari persalinan...
Ada perasaan ga sabar di hati kami berdua, dalam benak saya sudah tergambar seorang bayi mungil yang lucu dengan pipi tembem-nya, dan suara tangis seorang bayi di rumah kami. Menjelang dan baru bangun tidur, perut istri selalu saya cium dan menyapa si dedek bayi.
"Hai dedek.. lagi apa..?? yuk booboooooo..." :D:D
Dua minggu sebelum hari H (prediksi) kelahiran, saya dan istri sudah mempersiapkan perlengkapan pakaian dalam tas, istri sudah mengambil cuti di rumah, mobil (punya Bapak) sudah saya pinjam untuk stand by kalo nanti istri mulai mules di tengah malam. Kegiatan jalan-jalan keliling komplek rumah masi tetap kami jalani pagi dan sore hari dengan antusias. Segala makanan bergizi selalu kami makan, terutama untuk istri, saya ceritanya menemani :D, Ikan laut menjadi menu favorit kami, katanya bagus buat si bayi, walaupun awalnya istri sangat anti dengan ikan laut.
Sampai mendekati hari persalinan, dr. Putra masi memberikan informasi kandungan istri dalam keadaan sehat dan normal.
Saya sebagai calon bapak, memiliki salah satu tugas untuk mempersiapkan segala perlengkapan untuk menanam plasenta (mendem ari-ari). Tempat yang terbuat dari tanah liat, pandan berduri, kain putih dan beberapa kelengkapan lainnya sudah saya siapkan agar disaat hari persalinan saya tidak kelabakan. (Ada buku kecil Undang-Undang Dasar 1945 lho titipan neneknya untuk dimasukkan bareng ari-ari.. Hahahaha..)
Well, semua sudah siap, tinggal istri merasakan kontraksi, mules, and go.. menuju klinik.. Persalinan, Oeekk oeeekkk,. Selamat Datang Dedek,....!!
Teng tong.. teng tong..
Di hari H prediksi persalinan, istri sama sekali tidak merasakan sakit sedikit pun. Oke, masi normal, seperti halnya orang lain, persalinan bisa terjadi sebelum ataupun setelah hari prediksi. Jadi saya rasa masi normal. Hari-hari masi kami jalani seperti biasa, saya bekerja, istri di rumah. Pagi sore tetap jalan-jalan keliling komplek, sesekali ke taman kota, dan ke pantai lovina, kontrol ke dokter rutin kami lakukan seminggu sekali untuk memastikan apakah kondisi kandungan istri masi baik-baik saja.
Lewat dua minggu setelah hari prediksi..
Istri mulai khawatir..
Saya pun jadi ikut pusing menenangkan dia kalo semua baik-baik saja.. All is well ...
Tapi tetap saja, istri tidak bisa tenang, walaupun dia tau, banyak cerita kelahiran bisa lebih dari 2 minggu, bahkan bisa lewat sebulan di dalam kandungan.
Kekhawatiran istri bertambah saat dia mendapat kabar kelahiran salah satu sahabatnya, yang sebenarnya umur kehamilannya lebih muda dari umur kelahiran istri saya. Mungkin ada pertanyaan besar dalam benaknya, anak kami kenapa belum lahir, ada apa ini..??
Rasa stres istri makin menjadi saat beberapa keluarga, dan teman sms/telpon kami menanyakan kelahiran anak kami, yang hanya bisa kami jawab dengan "Belum.. ". Istri selalu bilang ga mau megang HP aja sekalian.. *lempar..
Dan kami pun kembali ke dr. Putra untuk konsultasi terakhir, memeriksakan kondisi kandungan istri, dan tindakan apa yang harus diambil.
Saat ini lah kami banyak mendapat motivasi dan edukasi mengenai persalinan, sekaligus justru membuat kebimbangan kami makin besar dari sini.
Menurut dokter, kondisi kandungan masi sehat dan normal, cuman tidak ada kontraksi. Dokter menyarankan untuk tetap persalinan normal karena masi memungkinkan. Namun agar bayi tidak terlalu lama dalam kandungan, ibu harus kontraksi, jika kontraksi normal tidak kunjung datang, maka dibutuhkan rangsangan, atau istilah lainnya di-induksi.
Istri tentu saja sudah menanyakan banyak hal mengenai persalinan dari teman-temannya, selain dari membaca artikel-artikel di internet, salah satunya mengenai apa dan bagaimana jika menjalani induksi.
Kesan negatif didapat dari cerita-cerita oleh istri saya. Ada yang bilang, kalo bisa jangan induksi, karena rasanya sangat menyakitkan, bahkan hanya mengulur waktu sambil menahan sakit, ujung-ujungnya SC juga. Yang Kebetulan Bibi saya sendiri mengalami trauma itu, di induksi, mengalami sakit yang luar biasa dalam beberapa jam, dan karena tenaga abis tidak ada bukaan, akhirnya dirujuk juga untuk operasi SC. Intinya, proses sakit yang percuma.. Kurang lebih itu kesan itu yang sudah tertanam dalam kepala istri saya.
Dokter sangat memahami kekhawatiran istri saya.
Menurut dr. Putra, memang induksi sakit, tapi sakit relatif, tergantung si Ibu sendiri, ketahanan merasakan sakit tiap ibu beda, jadi jika digeneralisir pernyataan kalo "di-induksi itu sakitnya luar biasa" tidak lah sepenuhnya benar.
Oke masuk akal menurut saya..
Tapi tetep istri sudah terlanjur mempunyai kesan yang buruk akan induksi.
Sempet saya memberikan masukan, atas saran dokter tadi, coba saja dulu, kuatkan fisik dan mentalnya, biar bisa anak kami lahir normal.
Dan saya pun salah menurut istri saya, karena menurutnya saya tidak akan pernah tau bagaimana rasanya sakit kontraksi yang dipaksa, ya memang benar, saya ga mungkin bisa merasakan itu, saya cuma memberikan saran, karena istri yang menjalani, saya pun nurut saja. (Disalahin... Sakitnya tuh disini.. *nunjuk jidat ...Hiks... )
Menurut dr. Putra lagi, berilah kesempatan proses yang natural pada si bayi, tidak buru-buru mengambil jalan SC. Dari segi psikologis, ada proses perjuangan yang akan dialami oleh si bayi, yang nantinya secara tidak langsung akan memberi dampak positif buat si bayi dan juga ada ikatan bathin antara ibu dan bayi. Salah satu faktor menjadikan manusia yang berkualitas diawali dari proses perjuangan saat si bayi akan melihat dunia pertama kali..
Wow.. *manggut-manggut
Masuk akal lagi bagi saya,
Memang benar adanya, cuma kembali lagi, keselamatan adalah nomor satu, dan apakah si Ibu yang menjalani siap.
Bagaimana dengan istri saya..?
Dia masi tetap cemas dan khawatir akan proses induksi itu. Sepanjang perjalanan pulang dari tempat dokter, dia menangis menitikkan air mata, saya tidak bisa terlalu menekan harus induksi dan persalinan normal, saya serahkan sepenuhnya ke istri. Saya yakin motivasi yang diberikan dokter kepada kami untuk persalinan normal masi kuat dalam keinginan istri saya, hanya saja kekhawatiran akan rasa sakit karena induksi membuatnya menjadi sedih.
Hari itu hari Rabu, H-3 kelahiran anak saya, kami harus menentukan pilihan di Jumat, setidaknya istri saya menunggu harapan untuk datangnya kontraksi di keesokan harinya.
Keesokan harinya, di hari Kamis..
Kontraksi pun tak kunjung tiba, istri masi stres, mau tidak mau harus ambil keputusan untuk langkah induksi atau langsung SC.
Sebagai orang Bali, saya pribadi sangat meyakini petunjuk yang diberikan oleh leluhur, atas kebimbangan yang kami alami, saya pun memohon petunjuk Hyang Widhi dan leluhur, langkah apa yang harus kami jalani. Dan atas mediasi Om Tut, saya mendapat petunjuk untuk ambil langkah SC, karena menurut beliau, leluhur yang akan turun ke dunia (jiwa yang meragai si dedek bayi) tidak bersedia melewati kelamin ibunya (mesulub), karena beliau adalah suci.
Percayakah dengan itu??
Di jaman yang serba canggih sekarang masi percaya akan petunjuk-petunjuk seperti itu ??
Dengan tegas saya katakan, saya percaya sepenuhnya, mungkin saya dibilang orang yang kolot di jaman modern, tapi saya tetap meyakini itu.. :)
Setidaknya, saya dan istri mantap untuk mengambil keputusan apa yang akan diambil.
Jumat malam saya konsultasi ke dr. Putra lagi, untuk memberi tahu keputusan yang kami ambil, yaitu SC, dan dokter pun hanya tersenyum, menurut beliau, dia hanya seorang pelayan, jika sudah diputuskan SC, beliaupun mengiyakan, kata beliau, malah lebih gampang, masuk RS, 20 menit proses persalinan beres.. Weww...
Dengan menjelaskan sedikit pertimbangan kami, beliau memahami, karena beliau juga orang Bali, karena dalam beberapa kasus kelahiran, ada juga yang seperti yang kami alami.
Rujukan pun sudah kami pegang, untuk menjalankan tindakan persalinan SC di hari Sabtu di RS Parama Sidhi. Dan perawatannya juga di RS Parama Sidhi agar mendapatkan jaminan BPJS.
Di Hari sabtu siang, kami ke RS, dan tindakan baru dilakukan sore hari pukul 17.30, dan saya sudah dipanggil melihat Putri kami di pukul 18.20
Selamat datang gek.. :)
Terlahir sempurna tanpa kurang apapun,
dengan pipinya yang tembem..
berat 3,65 kg
panjang 51cm
Saniscara Pahing Prangbakat
Senang dan terharu bahagia melihatnya, masi teringat saat pertama kali melihatnya, matanya yang mengedip pelan,,
Bagaimana dengan lotusbirth yang kami rencanakan sebelumnya??
Waterbirth sudah tidak mungin bisa kami jalanin, karena sudah ambil jalan persalinan SC. Masi ada peluang untuk lotusbirth.
Mungkin sudah diketahui sebelumnya, lotusbirth, secara garis besar, membiarkan tali pusar tetap bersatu dengan sang bayi sampai terputus sendiri secara alami, sebuah metode baru yang tidak seperti pada umumnya, setelah kelahiran tali pusar langsung dipotong, dan ari-ari langsung ditanam.
Sebelumnya dr. Putra memberikan penjelasan dengan bahasa yang gamblang mengenai lotusbirth ini. Secara medis, ari-ari / plasenta yang keluar bersamaan dengan bayi saat lahir masi mengandung banyak zat nutrisi yang sangat bermanfaat bagi si bayi, karena fungsi dari plasenta itu adalah penunjang nutrisi bayi saat di dalam kandungan. Dalam beberapa waktu, masih ada proses transfer nutri dari plasenta ke bayi. Dan memberikan putus secara natural akan memberikan nutrisi yang baik bagi bayi yang akan membuat si bayi lebih sehat tidak rentan sakit.
Selain itu, secara psikologis, di Bali, plasenta atau ari-ari ini dianggap sebagai saudara si bayi yang menemaninya dari kandungan sampai lahir, bahkan sampai kapanpun. Dengan selalu ada saudaranya (plasenta) disampingnya, bisa membuat si bayi tetap merasa tenang dan aman. Hanya saja, sebagai orang tua harus komit menjaga bayi sekaligus plasenta tersebut. Ribet memang, tapi menurut dr. Putra, ga pa pa ribet seminggu, untuk kualitas anak yang lebih .
Oke, masuk akal lagi buat saya, edukasi dan motivasi dr. Putra tidak saya ragukan lagi.
Nah, bagaimana keputusan kami..?
GAGAL..!!
Saya konsultasikan ke keluarga mengenai maksud ini.
Kembali lagi, karena kami orang Bali ada keyakinan kenapa lotusbirth ini tidak sesuai. Dalam prosesi kelahiran dan tumbuh kembang bayi, yang ada hanya kepus pungsed atau putusnya tali pusar. Tidak ada kepus tali ari-ari. Dan saat mengembalikan ari-ari ke pertiwi (menanam ke bumi/tanah) harinya harus sama. Karena perhitungan tiga bulanan antara si bayi dan ari-ari harus sama.
Oke, saya paham...
Secara medis, keluarga saya menyetujui lousbirth ini, tapi ya tetap ada keyakinan yang tidak bisa kami langgar.
Oke lah, lotusbirth pun kami urungkan, namun agar tidak kecewa kami meminta dokter anak dan bidan untuk menunda pemotongan tali pusar selama 2-3 jam, agar masi ada proses transfer nutrisi dari plasenta, daripada tidak sama sekali dan langsung potong.
Selama 2-3 jam sebelum tali pusar dipotong, kami dan keluarga sudah bisa melihat si bayi langsung, lucu, nangisnya kencang,,. Hahaha...
Setelah lewat 2 jam, di malam hari, tali ari-ari dipotong, dan saya pun membawa pulang untuk ditanam..
Ada proses pembersihan ari-ari yang harus dijalani oleh seorang Bapak, dan ini adalah pengalaman kedua saya, setelah dulu saya pernah ikut membersihkan ari-ari adik saya bersama Bapak. Ibu menyarankan saya, bersihkan sampai benar-benar bersih, bilas sampai putih, dan yang paling penting bersihkan dengan rasa kasih sayang dan tanpa ada perasaan jijik.
Semua itu saya jalani dengan suka cita.. :)
Semua proses telah kami jalani, sampai dedek bayi bisa pulang ke rumah dengan keadaan yang sehat..
Ada sedikit kejadian konyol saat akan menuju RS.
Sebenarnya saya sudah menyiapkan mobil (pinjaman bapak) jauh hari sebelum hari kelahiran, dimaksudkan agar saat istri mules, bisa langsung siap ke RS/Klinik.
Ternyata persiapan buyar disaat hari H, padahal istri tidak mules sama sekali. Jadwal ke RS yang awalnya pagi hari, jadi molor siang hari hanya gara-gara aki mobil soak... Zzz
Jadi saya harus nyari tukang bengkel untuk ganti aki.
Aneh, pas hari H nih mobil ngambek, padahal di hari-hari sebelumnya tidak ada masalah.
Belum lagi, di pagi itu juga, disaat saya sibuk ngurus aki mobil, datang kerumah atasan istri saya, ada urusan pekerjaan yang harus diselasaikan istri.
Dalam posisi siap ke RS, istri masi duduk di lantai dengan laptopnya entah mengerjakan apa, tanggunug dikit lagi, kata dia.. Hahaha..
Ini mah hari yang konyol...
Oh ya,
Kami beri nama putri kami, Putu Mirah Kirana Gayatri
Putu, anak pertama Bali
Mirah, terinspirasi dari nama Ibunya, Manik, yang sama-sama merupakan unsur batu mulia dan berharga.
Kirana, berarti sinar, sinar terang yang pernah dilihat istri dalam mimpinya beberapa waktu sebelum tanda-tanda kehamilan muncul.
Gayatri, istilah yang lekat dari Mantra Gayatri, sumber dari segala doa dalam keyakinan kami, yang akan selalu memberikan kekuatan dan keselamatan,
Kalo disambung artinya apa??
Mirah, yang diawali sinar yang akan memberikan kekuatan dan keselamatan..
(Okeh, yang ini jujur baru kepikiran saat nulis blog ini, Wakakaka..)
Ga tau ah pastinya kalo disambung artinya apaan, pokoknya suka ma rangkain kata-kata dalam nama itu, titik.. :p
Itu aja yang bisa saya ceritakan dari pengalaman pertama kehadiran putri kami..
Saat tulisan ini saya buat, Gek Mirah sudah berumur 2 bulan. Pipi makin cubby, dan kaki aktif bergerak.. Hahaha..
Selamat datang Gek Mirah.. :)
0 comments:
Post a Comment