Pages

Friday, November 29, 2013

Bali yang ternyata tidak semuanya indah




Suatu malam, saya iseng buka facebook, saya melihat salah satu teman yang sharing sebuah link, yang mengangkat tentang permasalahan yang ada di Bali.. Saya menilai, secara umum apa yang ditulis dalam artikel tersebut tidak jauh dengan apa yang saya nilai tentang Bali saat ini.

Kesampingkan dulu tentang indahnya alam Bali, kuatnya budaya Bali, atau (konon) ramah-ramahnya orang Bali menyambut para wisatawan.
Waktu sudah bergeser, sekarang jaman sulit di Indonesia, uang bukan segalanya, tapi ternyata faktanya uang dapat mengalahkan segalanya.

Balik lagi mengenai artikel tersebut. Artikel tersebut bersumber dari popbali.com , yang berjudul "Masalah Kronis di Bali : 6 Keluhan Wisatawan vs Keluhan Warga"

Bagaimana isi artikel tersebut?
Silahkan klik saja link popbali.com diatas.
Saya mencoba sedikit menulis beberapa masalah di Bali sesuai dengan bahasa, pemikiran, dan pengalaman saya sendiri.

Mari kita uraikan satu persatu 


1. Kemacetan dan Infrastruktur Jalan.

Kemacetan merupakan sebuah dampak negatif dari sebuah kota yang berkembang. Denpasar saat ini sudah menjadi salah satu kota yang mulai padat. Banyaknya investor membuka usaha, berimbas dengan menambahnya tenaga kerja dan berputarnya perekonomian kota, selalu berbanding lurus dengan bertambahnya penduduk. Masalahnya adalah para pekerja menggunakan kendaraan pribadi sebagai sarana transportasi.
Di sisi lain, mudahnya kepemilikan kendaraan saat ini juga menadi faktor utama penyebab kemacetan, hanya dengan beberapa ratus ribu, kita bisa mengkredit motor, begitu juga dengan mobil, dengan DP beberapa juta saja, kita sudah bisa mempunyai sebuah mobil. Disamping itu, sarana transportasi umum yang masi bisa dikategorikan kurang nyaman menjadi faktor pemicu kemacetan. Bahkan Gubernur Bali sudah memberkan alternatif angkutan umum gratis untuk trayek tertentu dan angkutan Transbagita untuk mengurangi minat masyarakat untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi.
Bisa saya bilang, kendaraan umum di Bali 'tidak laku' di kalangan masyarakat, sepinya peminat membuat lamanya angkutan umum ngetem. Untuk nunggu angkutan umum jalan bisa berjam-jam. Saya salah satu pengguna angkutan umum untuk angkutan antar kabupaten kota, trayek Singaraja - Denpasar. Saya biasa menunggu Isuzu, sebutan angkutan umum, di terminal sangket di Singaraja, terminal yang lengang dan sepi akan calon penumpang. Untuk mau ke Denpasar, saya harus menunggu berjam-jam disana menuggung sampai Isuzu  penuh baru jalan. Hal ini sangat mebuang waktu. Lumrah apabila masyarakat lebih memilih naik motor atau mobil sendiri.

Beberapa tahun lalu, untuk menuju Denpasar dari Singaraja tidak pernah saya temukan yang namanya macet, tapi saat ini, tepatnya di hari-hari libur, saya selalu menemukan macet dari Pancasari sampai baturiti, mungkin kalo menggunakan motor masi bisa lebih lancar, nah kalo dengan mobil, kemacetan sudah pasti ditemui. Belum lagi ada kecelakaan kendaraan di tengah jalan yang memperparah kemacetan. Belum lagi sampai Denpasar, kendaraan menumpuk dari Pasar Beringkit, karena disana pertemuan lalu lintas dari Singaraja, dan dari arah Tabanan yang merupakan lalu lintas Jawa Bali, dari sanalah titik kemacetan menuju Terminal Ubung. 

Hal kedua yang menjadi poin penting kemacetan di Bali (khususnya daerah Denpasar Badung Gianyar dan Tabanan) adalah infrastruktur jalan. Syukurlah saat ini sudah dibangun jalan tol Bandara Nusa Dua dan underpass di Simpang Siur, yang menjadi salah satu solusi yang 'sedikit' membantu mengurai kemacetan, walaupun menurut saya itu sifatnya hanya sementara saja. Kenapa saya bilang sementara? Logika saja, pertumbuhan kendaraan dan bertambahnya jalan sangatlah berbeda, bisa di cek penjualan kendaraan dari perusahaan-perusahaan penjualan otomotif di Bali meningkat tiap tahunnya, dibandingkan pembangunan jalan yang lebih lambat.
Menurut artikel di popbali.com, ada beberapa hal yang menghambat perluasan infrastuktur jalan, salah satunya yaitu kuatnya adat di Bali. Masyarakat Bali terikat adat di Bali yang akan membuat sulitnya melakukan pembebasan tanah, bagaimana misalnya jika jalur jalan motong sebuah Pura, Sanggah, atau pelinggih, sulitnya memungkinkan dibuatnya jembatan layang / flyover karena posisi Pura ada dibawah kendaraan yang lalu lalang di jalan atas. Sebuah keputusan yang benar-benar harus dipikirkan secara matang terlibh dahulu sebelum diambil.


Maraknya isu mobil murah saat ini menjadi salah satu ancaman kemacetan di Bali, bagaimana tidak, saat mobil masi menjasi suatu pristise diakalangan masyarakat dan didukung dengan harga yang murah, tentu saja peminatnya banyak, dan tentu saja jalanan makin penuh. Saat ini lah pemerintah dituntut untuk bisa mengambil langkah strategis dalam menangani masalah kemacetan. Seperti halnya Jakarta yang bahkan bertahun-tahun sampai detik ini pun, kemcaetan masi seperti benang kusut yang sulit dicari jalan keluarnya. Selain pemerintah, menurut saya, peran masyarakat sendiri juga lah yang benar-benar ikut andil dalam penanggulangan kemacetan ini. Jangan mengeluh terhadap sesuatu masalah yang kita buat sendiri. Menyalahkan banyak pihak padahal penyebab masalah itu juga adalah kita-kita sendiri, mari kita mulai sadar dan benahi diri.

Kemacetan dan Infrastruktur Jalan
Masalah Kronis di Bali: 6 Keluhan Wisatawan Vs Keluhan Warga - See more at: http://popbali.com/masalah-kronis-di-bali-6-keluhan-wisatawan-vs-keluhan-warga/#sthash.azTzpgHC.dpuf
Masalah Kronis di Bali: 6 Keluhan Wisatawan Vs Keluhan Warga - See more at: http://popbali.com/masalah-kronis-di-bali-6-keluhan-wisatawan-vs-keluhan-warga/#sthash.azTzpgHC.dpuf
Seandainya orang bodoh seperti saya boleh berpendapat, cara menanggulangi macet adalah dengan

1. Tingkatkan kenyamanan dan fasilitas transportasi umum, buat bagaimana agar masyarakat merasa aman dan nayaman menggunakan fasilitas transportasi umum.

2. Tolak kebijakan mobil murah, sudah jelas, yang untung hanya pihak tertentu saja, buat apa punya mobil kalo seandainya di jalan stuck  ga jalan.

3. Apabila fasilitas transportasi umum sudah memadai, naikkan pajak kendaraan dan tarif parkir, tentu agar orang menjadi berpikir ulang dalam membawa kendaraan ke suatu tempat.

Tentu hal tersebut tidak mudah, tapi untuk apa punya pemerintah kalo mereka tidak bisa, kan lebih baik mundur :)
         


2. Sampah dan Kebersihan.


Hal ini sudah menjadi tanggung jawab bersama, masalah sampah dan kebersihan sudah pasti berasal dari pribadi masyarakat sendiri, bagaimana disiplinnya dalam membuang sampah. Saya merupakan salah satu warga yang masi tertarik mengunjungi beberapa tempat wisata di Bali, salah satu tempat yang saya sering kunjungi bersama istri adalah Pantai Sindhu, sebuah pantai yang tidak jauh letaknya dari Pantai Sanur dan Hotel Bali Beach. Minggu sore merupakan saat yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan, baik warga lokal, wisatawan lokal, dan wisatawan asing. Saya sebenarnya bukan peminat pantai untuk renang, surfing atau mancing, saya cuma suka duduk diatas pasir sambil ngobrol-ngobrol. Satu hal yang menjadi pusat perhatian saya adalah sampah yang berserakan di sekitar pantai, entah kenapa pengunjung dengan mudahnya membuang sampah bekas makanan sembarang begitu saja di pasir, saya banyak menemukan hal tersebut. Betapa kasiannya para aktifis kebersihan, berkampanye dan melakukan aksi bersih ke penjuru pantai di Bali, tapi di sisi lain, masyarakat sendiri yang merupakan tuan rumah di pantai itu malah begitu gampangnya membuang sampah. Saya tidak munafik, sok bersih, saya hanya mengutarakan sisi buruk dari yang saya lihat di sekitar saya, di pantai saya biasa merokok, puntung rokok bekas saya hisap selalu saya kantongi dan baru saya buang setelah saya menemukan bak sampah. Marilah kita sama-sama disiplin terhadap sampah, setidaknya dari sampah kita sendiri.

Mungkin cerita diatas adalah secuil masalah sampah yang ada di Bali. Bagaimana dengan masalah sampah di pantai yang selalu di keluhkan wisatawan saat berselancar di pantai? Bagaimana sampah di sungai Badung? Pasar-pasar? atau sudut-sudut jalan kota. Kalo bukan dari kita yang membuat bersih rumah kita, siapa lagi? bukannya kita malu, Bali yang disebut Surga ternyata banyak terdapat tumpukan sampah.?? 



3. 'Pelacuran' Obyek Wisata.


Seperti yang saya ungkapkan di awal tulisan ini, uang adalah hal yang menjadi salah satu faktor masalah. Nah karena faktor uang itulah yang menjadi pemicu utama mengapa terjadi istilah 'Pelacuran' Obyek Wisata. Dalam artikel popbali.com diungkapkan bagaimana penjual cindera mata memaksa calon pembeli untuk membeli jualannya, bagaimana para guide memaksa tamunya untuk berbelanja di sebuah artshop yang mejadi kerjasamanya, bagaimana oknum-oknum obyek wisata melakukan pungutan-pungutan yang berkedok sumbangan keagamaan, dan masi banyak mungkin yang lain.

Suatu hari saya berkunjung ke Pura Besakih, tentu saya kesana untuk sembahyang, bukan sebagai wisatawan yang hanya melihat-lihat ataupun  berfoto-foto di depan pura. Baru sebentar saya turun dari mobil, saya langsung dikerubungi anak-anak yang menanjakan bunga dan dupa dengan nada memaksa, saya sih tentu sudah bawa dari rumah karena memang menyiapkan untuk sembahyang, dan karena alasan tidak ingin diganggu terus, saya pun mengiyakan membeli bunga dan dupa itu. Nah itu salah satu contoh yang saya alami, saya adalah pengunjung pura yang hendak sembahyang, bagaimana kalau pengunjung wisatawan lain. Betapa tidak nyamannya mereka disaat menikmati keindahan Pura besakih, selalu di desak dengan nada memaksa oleh beberapa penjual souvenir. Kembali, tentu itu masalah uang, kalo tidak seperti itu, jualan mereka tidak laku. Disaat itu pula, kebetulan saya membawa seorang teman yang non Hindu, yang memang berniat mengunjungi Pura Besakih untuk melihat-lihat sebagai wisatawan, dengan halus dia menolak semua pedagang yang memaksa dia untuk membeli jualannya. Ada satu hal yang membuat saya 'geli' saat itu, ada seorang bapak-bapak, kalo tidak salah tangkap, dia adalah guide yang biasa menjadi tour leader disana. Teman saya tidak diperbolehkan masuk ke area pura, karena tidak melakukan persembahyangan, tapi kalo ingin masuk, hanya bisa dengan panduannya, dia lah yang akan memandu di area pura. Gratis ?? kencing aja bayar kok :D
Saya setuju dengan melarang pengunjung masuk areal pura untuk yang tidak sembahyang, tapi saya tidak setuju dengan ada pengecualian boleh masuk ke areal pura bagi yang mau bayar.. Inikah yang dinamakan sebuah 'pelacuran'.

Tidak hanya di Besakih saja, saya juga pernah menemuai pedagang souvenir yang selalu memaksa untuk membeli barang jualannya di Penelokan, yaitu di daerah wisata Danau Batur Kintamani. Saya sih disana hanya mampir istirahat sebentar setelah beberapa jam naek motor. Ya kembali lagi, saya terpaksa membeli daripada diganggu terus, Hehehe..

Adakah suatu pembinaan terhadap masyarakat yang mencari mata pencaharian di areal tempat wisata oleh dinas Pariwisata? Pakah Dinas pariwisata tutup mata melihat keadaan ini? Pakah tidak malu beberapa wisatawan asing banyak menulis ketidaknyamanan ini di blog mereka dan dibaca banyak wisatawan lain yang hendak berkunjung ke Bali? Apa iya sekarang Bali masi menjadi tempat yang nyaman sebagai tempat yang patut dikunjungi kalo keadaannya berlanjut terus seperti ini? 


3. Keamanan.



Bali sudah tidak aman saat ini. Sudah banyak terjadi pencurian dan perampokan, satu hal yang merupakan dampak negatif dari bekembangnya sebuah daerah. Saat ini, sudah tidak jarang kita temui di media massa maupun elektronik, kasus-kasus pencurian. Pihak kepolisian harus kerja ekstra keras dalam menanggulangi masalah ini. Sebagai masyarakat, waspada adalah hal yang wajib dalam menghadapi masalah ini. 

Tidak banyak mungkin yang bisa saya tulis tentang keamanan di Bali, saya tidak mau mengkambing hitamkan pelaku kejahatan di Bali adalah kebanyakan dari para pendatang, karena ada beberapa kasus kejahatan juga dilakukan oleh warga Bali sendiri. Yang pasti faktor uang lah penyebab masalah ini. Dimana terjadi pertumbuhan ekonomi dan penduduk, kejahatan dan kriminalitas senantiasa membuntuti, jadi waspadalah..
  


4. Lesunya Pasar Tradisional.

 http://umaseh.com/wp-content/uploads/2013/08/016.jpg

Kalo saya bole bertanya, seandainya berbelanja, lebih nyaman mana berbelanja di toserba yang nyaman dengan berbelanja di pasar yang becek dan banyak sampah??

Nah ini adalah salah satu masalah yang umum ditemukan di kota-kota di Indonesia, menjamurnya toko retail serba ada sudah mengalihkan perhatian masyarakat untuk berbelanja ke pasar-pasar atau toko-toko kelontong kecil lainnya. Saya tidak membahas masalah ini secara umum, yang menjadi perhatian saya adalah lesunya pasar/toko kecil penjual oleh-oleh Bali. Saat ini bermunculan banyak toko one stop  souvenir Bali, masuk ke satu toko, maka semua jenis oleh-oleh khas Bali ada disana, tentu dengan kondosi yang lebih nyaman dan harga sudah pasti. Tidak seperti halnya di pasar atau toko souvenir kecil, kondisi yang tidak nyaman, dan harga yang dipermainkan pedagang menjadi satu hal yang menjadi alasan kenapa para wisatawan lebih memilih berbelanja ke Toko oleh-oleh yang besar. Hal itulah yang membuat para pedagang mengeluhkan kehadiran toko oleh-oleh tersebut, dan sudah pasti omset mereka pun turun drastis. Kerja sama toko oleh-oleh dengan banyak perusahaan tour menjadi masalah besar bagi pedagang kecil, karena para wisatawan sudah pasti tidak mengunjungi mereka untuk berbelanja. Sepertinya pemerintah daerah harusnya lebih memperhatikan keadaan pedagang kecil, tidak semata-mata memberikan ijin dibukanya toko oleh-oleh yang besar. 

Tiap pulang ke Bali saya biasanya membeli beberapa makanan sebagai oleh-oleh buat teman-teman kantor di Jakarta, saya biasanya membeli di Jl. Sulawesi, kawasan toko-toko oleh-oleh kecil di areal pasar Badung. Biasanya saya membeli kacang ataupun brem. Saya juga pernah membeli di toko oleh-oleh besar seperti Erlangga maupun Krisna, memang berbeda sekali, seandainya membandingkan dan memilih, tentu saya memilih yang besar, karena semua ada, lengkap, dan harga jelas. Satu yang membuat saya malas berbelannja di toko oleh-oleh besar hanya karena ramainya saja, bis-bis besar pada kesana, sepertinya rombongan wisatawan lokal yang digiring kesana. Bagaimana pedagang kecil tidak gigit jari dengan keadaan ini, disaat dagangan mereka sepi, di lain pihak toko oleh-oleh besar selalu dibanjiri pengunjung, sampai saya pegal mengantre. Melihat keadaan tersebut, setidaknya saya pribadi sekarang sudah mulai sebisa mungkin tidak membeli di toko oleh-oleh yang besar, apabila barang yang saya inginkan ada di pedagang kecil dan jaraknya tidak jauh, saya memilih berbelanja disana, dan setidaknya, saya bisa membantu pergerakan perekonomian mereka.


Masi banyak masalah yang ditemui di Bali..
Semoga kedepan Bali masi tetap menjadi ikon pariwisata yang nyaman di kunjungi, karena tidak bisa dipungkiri, perekonomian masyarakat Bali sangat tergantung dengan pariwisata

Astungkara.. :) 

2 comments:

  1. wah banyak yang harus diperhatikan ya oleh pemerintah

    ReplyDelete
  2. Maaf. Boleh saya minta artikel yg 6masalah itu? Karena sebelumnya saya bookmark artikelnya tapi skrg sudah tidak bisa dibuka lagi. Makasi

    ReplyDelete