Pages

Monday, March 3, 2014

Pura Gambur Anglayang, sebuah cermin toleransi



Kali ini saya pengen menulis tentang yang namanya TOLERANSI..

Miris ga sih liat berita di TV tentang peperangan antar warga karena perbedaan suku ras dan agama? sampai bunuh-bunuhan.. Ngeri rasanya. Seakan-akan negara kita ini adalah negara bar-bar yang sangat mudah disulut emosinya jika bersinggungan dengan masalah agama. Agama masi sangat sensitif di negara ini. Padahal bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan, ramah dan santun, tapi berita-berita itu sudah membuktikan bahwa bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa yang ramah masi dipertanyakan.. Kemana larinya keramah-tamahan tersebut.

Sebagai contoh kecil,
Jaman sekarang sudah jaman internet, banyak orang sudah bisa berekspresi di internet. media sosial adalah salah satu media di internet yang sangat trend di masyarakat saat ini. SARA tidak lepas juga selalu menjadi topik pembicaraan di media sosial. Saya sering membaca beberapa topik yang membahas agama, apabila ada satu orang memberi komentar yang sedikit menyinggung tentang agama, orang lain pasti akan panas, pasti akan selalu ada perdebatan yang tidak ada pangkalnya, hanya memperdebatkan "AGAMA SAYALAH YANG PALING BENAR".. huuffhh ga ada habisnya.

Toleransi beragama belakangan ini sepertinya sulit sekali ditemui di negara ini, walaupun masih ada harapan di beberapa daerah hidup berdampingan berbeda suku dan agama masi tetap damai dijalani.

Saya tidak ingin menjadi seorang pakar yang membahas keanekaragaman suku dan agama di tulisan kali ini. Tapi ada satu pengalaman saya yang membukakan mata saya bahwa sebenarnya toleransi beragama sudah diterapkan oleh nenek moyang saya, nenek moyang kita sendiri di masa yang lalu.



Suatu hari, sekitar bulan Juni 2012, saya berkesempatan diajak untuk mengunjungi sebuah pura di Kubutambahan, Buleleng bagian timur, beberapa kilometer kota Singaraja ke arah timur, jalan raya Singaraja - Amlapura. Om Tut, adik Ibu saya, menceritakan ada sebuah pura yang unik menurut saya. Apa sih uniknya?
 Saya menemukan artikel di google, menjelaskan tentang pura ini.


Pura Gambur Anglayang
Demokrasi dan Toleransi dari Pura Gambur Anglayang

Daerah Pantai Utara (Pantura) Bali, terutama di bagian timur, terdapat banyak situs yang bisa dijadikan semacam cermin untuk melihat wajah manusia Indonesia di masa lalu. Wajah manusia yang beragam--berbeda suku, agama dan ras -- namun mereka tetap hidup dalam satu ruang yang damai, rukun dan aktif. Dari situs-situs itu bangsa Indonesia bisa belajar tentang interaksi sosial, budaya dan kerukunan antarmanusia. Salah satu di antaranya adalah Pura Negara Gambur Anglayang yang berlokasi di Desa Kubutambahan, Buleleng. Seperti apa kearifan peradaban masa lalu yang bisa dipetik dari pura ini, khususnya dalam konteks menciptakan kedamaian dan keutuhan bangsa?


SETELAH bom meledak di Legian, Kuta, 12 Oktober lalu, banyak kalangan cemas: jangan-jangan konflik horisontal juga turut meledak di Bali, seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Palu dan lain-lainnya, yang akhirnya bisa meluluhlantakkan, tanpa sisa, seluruh tatanan kehidupan ekonomi dan sosial. Namun apa yang dicemaskan tak pernah terjadi. Masyarakat Bali--masyarakat yang hidup di Bali-- dari suku, agama dan ras mana pun mereka berasal, malah bahu-membahu menanggulangi bencana dahsyat itu.
Tentu saja, masyarakat Bali sesungguhnya telah belajar banyak dari kearifan masa silam, misalnya bagaimana hidup bersama dalam keberagaman, seperti yang tertera dalam situs-situs purbakala. Salah satunya adalah situs yang terukir pada Pura Negara Gambur Anglayang di Desa Kubutambahan, Buleleng. Di pura itu terdapat delapan pelinggih unik yang mencerminkan unsur keberagaman dalam sebuah ruang damai. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu dari unsur ras Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang menunjukkan unsur Cina atau Buddha, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsur Islam. Belakangan dalam pura itu juga dibangun sebuah padmasana.

Pura itu terletak di tepi Pantai Tabaning, Kubutambahan. Tabaning berasal dari kata Kuta dan Baneng. Kuta berarti benteng dan baning berarti batu-bata. Dulu, sekitar abad ke-13 Kubutambahan merupakan sebuah benteng di sebuah laguna atau danau yang luas.
Informasi yang dikumpulkan dari tokoh masyarakat setempat, seperti Drs. Putu Armaya, Bendesa Adat Jero Warkandia dan Ngurah Paramartha -- budayawan yang sejak tahun 1990-an aktif meneliti keberadaan pura-pura di Kubutambahan, menyebutkan Pura Negara Gambur Anglayang didirikan pada tahun 1260 (abad ke-13). Saat itu, Kubutambahan merupakan tempat di mana laut bertemu dengan sebuah danau. Tepat di titik pertemuan laut dan danau itulah sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di lokasi itu, dahulu merupakan pelabuhan dagang yang dinamakan Kuta Baning. Pelabuhan dagang itu dikelilingi benteng untuk pengamanan karena merupakan pusat perdagangan seluruh Nusantara. Sebagai pusat perdagangan, daerah ini didatangi berbagai jenis manusia dari suku, agama dan ras yang berbeda-beda.

Karena tempat itu dipercaya bisa memberi mereka kehidupan, berbagai manusia berlainan keyakinan dan kepercayaan itu membangun sebuah pura. Pura ini merupakan lambang dimana agama dipercaya sebagai satu tujuan manusia, dari mana pun ia berasal.

Pura Negara Gambur Anglayang hanyalah salah satu dari situs yang tersebar di wilayah Buleleng Timur. Ada delapan pura lagi yang tak bisa dilepaskan dari keberadaan pura Gambur Anglayang, yakni Pura Puseh Penegil Dharma, Pura Pingit, Pura Meduwe Karang, Pura Patih, Pura Dalem Puri, Pura Pande, Pura Sang Cempaka, dan Pura Candra Manik. Semua pura ini memiliki kaitan yang tak bisa dicerai-beraikan. Berdirinya pusat spiritual ini bisa dilacak mulai dari abad ke-9 ketika rombongan Sri Kesari Warmadewa melakukan perjalanan dari Prambanan-Kahuripan terus ke ujung Pulau Jawa atau Prawali yang kemudian dikenal dengan nama Bali. Perjalanan itu dilakukan karena ia sangat meyakini adanya nur (sinar) Tuhan di ujung timur Pulau Jawa itu. Sampailah Warmadewa di sebuah laguna atau danau yang sangat luas yang mempunyai muara ke laut, tempat di mana nur Tuhan itu diyakini berada. Tempat itu disebut kawista atau kawi prayascita. Lokasi itu tak lain di Buleleng Timur.
Di tempat itulah Raja Sri Kesari Warmadewa, membangun istana sebagai pusat pemerintahan dan pusat agama. Sri Kesari Warmadewa kemudian mengangkat Resi Markendiya menjadi Kuturan atau Senapati Kuturan, sebagai penasihat spiritual raja.

Sebagai pusat dagang, pemerintahan dan spiritual, kerajaan itu banyak didatangi orang dari berbagai daerah lain, bukan hanya di Nusantara, juga dari Melayu, Cina, Babilonia dan lain-lainnya. Jejak-jejak sejarahnya tersebar dalam situs-situs pura di Kubutambahan, serta masih banyak lainnya yang belum bisa diungkapkan.
Seperti apa pun perjalanan sejarahnya, situs Pura Gambur Anglayang bisa memberi pelajaran penting tentang kerukunan yang terjadi di masa lalu. Tak ada konflik ras, agama atau suku. Segalanya disatukan dalam ruang damai. Bahkan budayawan kondang Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yang sempat mengunjungi pura itu baru-baru ini tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Ketika menyaksikan delapan pelinggih penting itu, ia lantas berujar lantang: "Pemimpin-pemimpin Indonesia harus belajar dari Pura Gambur Anglayang di Kubutambahan ini".
Di pura itu Cak Nun mengaku melihat adanya kearifan nenek moyang yang harus ditiru. Nenek moyang kita, katanya, jauh sebelum mengenal istilah demokrasi dan toleransi ternyata telah menciptakan suatu masyarakat demokratis dengan toleransi yang tinggi. Tanpa tujuan muluk-muluk mereka telah menyatukan keberagaman dalam sebuah ruang kehidupan sosial dan spiritual yang tinggi.
Emha bahkan berani mengatakan, Pura Gambur Anglayang ini merupakan perwujudan masa depan Indonesia. Masa depan Indonesia, katanya, telah tergambar dalam pura tersebut. Untuk itu Cak Nun mengundang para pemimpin Indonesia untuk datang ke Kubutambahan, belajar tentang kerukunan dan masyarakat madani.

Dari Daratan Cina
Dilihat dari luar, Pura Gambur Anglayang tidak memiliki keunikan yang berbeda ketimbang pura lain di Bali. Ia juga memiliki penyengker dan bangunan-bangunan pelinggih yang motifnya juga tak jauh berbeda dengan ukiran pura lain di Bali. Yang unik hanya nama-nama pelinggih-nya yang mencerminkan berbagai suku dan agama di dunia.
Ngurah Paramartha menjelaskan, pura itu telah mengalami perbaikan berkali-kali. Setiap kali terjadi perbaikan, pura itu juga mengalami perubahan arsitektur sesuai dengan zamannya. Saat ini, bentuk dan pembagian ruang pura itu disesuaikan dengan arsitektur Bali umumnya. Hanya saja, beberapa simbol dari agama-agama tertentu tetap dibiarkan menjadi ciri khas pura itu. Misalnya, pada pelinggih Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas tetap terdapat simbol-simbol Cina. Bahkan pada bangunan piasan khusus untuk Ratu Syahbandar terdapat lukisan perahu yang sedang bergerak di tengah laut. Lukisan itu menunjukkan perjalanan Ratu Syahbandar dari daratan Cina ke Kubutambahan. Selain itu, pada pelinggih Ratu Bagus Melayu masih terdapat ukiran-ukiran khas Melayu yang kini banyak ditemui di daerah Jambi dan Riau.

Menurut Paramartha, seluruh pelinggih itu dipuja oleh seluruh warga Kubutambahan, tanpa membeda-bedakannya. Selain itu, beberapa warga keturunan juga banyak melakukan pemujaan ke pura tersebut.
Sumber : babadbali.com





Sudah bisa menemukan keunikan dari pura ini??

Saya sebenarnya sering melewati jalan menuju ke pura ini apa bila saya menuju ke kampung saya di Madenan, cuma saya tidak tau ada sebuah pura yang bersejarah didaerah Kubutambahan itu.
Yang ada di kepala saya saat saya tau pelinggih-pelinggih di Pura itu adalah, 
"Kok bisa ya ada pelinggih yang agamanya atau sukunya beda dengan yang di Bali..??"
Sama sekali tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya, makanya saya tertarik untuk berkunjung dan sembahyang di Pura ini.
Dalam pura tersebut berderet beberapa pelinggih, diantaranya (yang saya lihat)  Ratu Bagus Sundawan (Sunda), Ratu Bagus Melayu (Melayu Sumatera), Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas (Cina), Ratu Dalem Mekkah (Islam), Ratu Pasek, Dewi Sri, dan Ratu Gede Siwa sebagai pelinggih yang menunjukkan ajaran Siwa.
Bagaimana pemujaan terhadap pelinggih Islam atau Cina yang saya tau berbeda dengan Hindu..??
Ini lah yang membuat saya antusias akan Pura ini.
Dari artikel diataslah saya baru mengerti secara singkat, bahwa Pura ini adalah salah satu bukti bahwa Bali pernah dikunjungi oleh berbagai bangsa, karena Buleleng posisinya di pinggir pantai sebagai pintu masuknya para pedagang di jaman perdagangan dulu. 
Dan pelinggih-pelinggih tersebut ada untuk menghormati para lelehur yang pernah datang ke Bali saat itu dan sebagai bentuk toleransi. Sangat menakjubkan..!!
Menurut saya, simbul keberagaman Nusantara direfleksikan di Pura ini.

Kata Om Tut, saat odalan, Pura ini banyak dihiasi kober (bendera sakral) dan kain-kain yang didominasi oleh warna Merah dan Putih.. NUSANTARA..!! 

Ada hal lain yang membuat saya lebih tertarik sembahyang di Pura ini adalah, menurut Om Tut, jika mempunyai sebuah keinginan yang tulus dan baik yang ingin saya dapatkan, saya bisa bisa memohon di pelinggih Ratu Ayu Syahbandar. Percaya tak percaya, saya selalu yakini, dengan niat yang tulus, saya memanjatkan doa dan memohon restu atas permintaan yang ingin saya dapatkan.
Permintaan saya apa..??
Hehehe.. Rahasia dunk :p
   
 
Sekilas pura ini  kecil, sama seperti halnya pura-pura di Bali pada umumnya, tampak sepi di hari-hari biasa (kebetulan saya berkunjung siang hari saat Hari Raya Pagerwesi), Pura ini berdiri tidak jauh dari bibir pantai, areal pura tidak begitu luas, dan di dalam jeroan Pura, lantai dipenuhi oleh bebatuan kerikil. Tidak beralaskan rumput seperti halnya kebanyakan Pura. Walaupun Pura ini terdapat beberapa pelinggih dari asal usul yang berbeda, secara umum, bentuk pura tidak jauh berbeda dengan pura-pura pada umumnya, dihiasi dengan ukiran-ukiran khas Bali yang terbuat dari ukiran bisa/pasir. Yang membedakan pelinggih-pelinggih tersebut adalah, adanya lukisan-lukisan dan beberapa patung yang menjadi identitas pelinggih masing-masing, seperti halnya pada pelinggih Ratu Bagus Sundawan, terdapat lukisan (entah manusia entah Dewa) yang berpakaian  ciri khas Sunda, dan di Pelinggih Ratu Bagus Melayu, terdapat sedikiti corak ukiran khas Melayu seperti halnya di Sumatera. Pada pelinggih Ratu Ayu Syahbandar, terdapat lukisan sebuah Kapal yang mengungi Samudera, menggambarkan kapal dagang Cina yang terkenal mengarungi samudera di Bumi ini. Bagaimana dengan pelinggih Ratu Dalem Mekkah?? Saya tidka melihat sebuah corak mekkah/islam/arab yang ada pada pelinggih tersebut. Entahlah, tapi saya yakin dengan apa yang dilihat oleh mata bathin Om Tut, beliau melihat Kubah besar ada pada pelinggih tersebut. Saya percaya aja, karena ga bisa melihatnya sama sekali :D

Mungkin belum banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan Pura ini, malah tokoh budaya Cak Nun saja pernah berkunjungi ke Pura ini, dan kata Om Tut, beliau pun sholat di hadapan pelinggih Ratu Dalem Mekkah. (Kalo yang ini entah benar apa nggak) Hihi.. :D
Mungkin juga, Pura ini hanya dikunjungi oleh masyarakat Kubutambahan saja, karena belum banyak yang tau, padahal Pura ini memiliki keunikan yang bisa membuka mata kita akan sebuah TOLERANSI. 


Saya merasa tidak banyak yang bisa saya gambarkan tentang Pura Gambur Anglayang pada tulisan ini, tapi setidaknya, bagi teman-teman yang belum tau, bisa menjadi salah satu tujuan spritual yang patut untuk dikunjungi..



Salam :) 






Baca juga : 

0 comments:

Post a Comment